JAKARTA, KILAS24.COM– Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengadukan Deputi Penindakan KPK, Karyoto ke Dewan Pengawas (Dewas KPK). Laporan tersebut diduga terkait pelanggaran Etik.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman SH,MH dalam press release yang diterima media ini mengaku telah mengadukan Karyoto, ke Dewas KPK via email, Selasa, (26/5)
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, via email telah menyampaikan surat kepada Dewan Pengawas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto selaku Deputi Pimpinan Bidang Penindakan KPK. Karyoto kata Boyamin, dalam memberikan release kegiatan tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Rabu pekan lalu.
Dalam laporan tersebut MAKI membeberkan dugaan pelanggaran sebagai berikut :
(1) Karyoto melakukan release sendirian, hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara ( kasus ) kepada media adalah Pimpinan KPK dan atau Juru Bicara KPK;
(2). Penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan atau pemeriksaan , padahal semestinya penyebutan nama dengan inisial demi azas praduga tidak bersalah dan selama ini release atau konpers KPK atas kegiatan tangkap tangan ( OTT ) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT;
(3). Karyoto dalam narasi pembukaan awal release menyatakan “ merespon pertanyaan rekan-rekan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT, dapat kami jelaskan sbb : “, hal ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan Karyoto kepada wartawan dalam bentuk release ;
Menurut Boyamin, dalam OTT terhadap staaf UNJ di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk melakukan hiat tangkap tangan.
“Semestinya sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya apakah suap atau gratifikasi dan siapa Penyelenggara Negaranya sehingga ketika sudah dilakukan Giat Tangkap Tangan tidak mungkin tidak ditemukan Penyelenggara Negaranya,” beber Boyamin.
Dijelaskan, perencanaan dan analisa perkara terhadap Kegiatan tangkap tangan diduga tidak melibatkan Jaksa yang bertugas di KPK, hal ini berdasar hasil giat tangkap tangan yang gagal karena semestinya jika OTT dilakukan dengan melibatkan jaksa, semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK.
Selain itu sambung dia, dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan penanganan perkara termasuk OTT semestinya melibatkan Jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan dan penahanan, kewenangan para pihak, dan analisis SWOTnya.
Menurut Boyamin, pelaksanaan giat tangkap tangan diduga tidak tertib dan tidak lengkap administrasi penyelidikan sebagaimana ditentukan SOP dan KUHAP untuk pengamanan sesorang atau penangkapan dan permintaan keterangan para pihak dari Staff dan Rektor UNJ .
“Semestinya jika giat tangkap tangan ini bagus dengan segala administrasnya maka potensi gagal adalah kecil,”pungkasnya.
Ditegaskan, kegiatan tangkap tangan sesuai prosedur standart adalah dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait.
“Dalam kegiatan ini jika dilakukan penyadapan maka Saya yakin tidak ada ijin penyadapan dari Dewan Pengawas atau jika tidak dilakukan penyadapan maka telah melanggar SOP KPK,”pungkasnya.
Kendati demikian, Boyamin mengatakan membatasi diri untuk tidak memasuki pokok perkara apakah dalam OTT tersebut terdapat tindak pidana korupsi (TPK) atau tidak ada TPK.
“Selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK untuk menindaklanjuti laporan ini sesuai ketentuan yang berlaku,” tutup Boyamin.
Reporter : Yosef Naiobe