by: Rikard Djegadut
“Nun jauh di sana, jiwa itu pergi…
Lalu, dengan sujud syukur ia bertekuk lutut
Dan menengadah ke angkasa raya membayangkan seonggok (bukan sesosok) bayangan yang maha segala kuasa.
Lalu dia dapati dirinya, tengah menatap ilusi nyata seraya berkata:
“Wahai kau ilusi, ciptaan imaginasi akal Budi murni, kau tak punya apa-apa mengambil jiwaku pergi bersamamu. Sebab kau tak menjamin apa-apa. Namun penghiburan di tengah duka cita bathin yang kelana siang malam,” jiwa itu berteriak tanpa suara namun menggema hebat di kedalaman relung sanubari.
Jiwa itu ingin pergi ke titik tertinggi seraya berharap sebentuk kuasa maha dahsyat mengangkatnya ke atas, di atas awan, melewati bening birunya angkasa. Sebab ke lembah terdalam, ke alas para jahanam, ke tempat para bangsat berkuasa dan bertahta, ia telah lama bersahabat.
Pun ke lembah para malang, dirinya sudah bermandikan kemalangan, berlumurkan ketakberuntungan, dihiasi banyak kesialan.
Kali ini, ia ingin mengakhiri semuanya. Kembali pada yang empunnya pengalaman. Empunnya waktu. Tuannya kebaikan. Sumbernya keteduhan dan kedamaian. Awalnya ketulusan dan cinta. Ujung dan akhirnya segala kasih.p