Oleh: Romo Fritz Meko,SVD
Dalam “permenungan” pagi ini, saya dihantar pada kesadaran bahwa hidup ini selalu terseling antara: suka-duka, untung-malang, senang-susah, sehat-sakit, dan lain-lain.
Kenyataan “sisi ganda” ini senantiasa memberi “efek rasa” bagi kita.
Saat suka, untung dan sehat, efek rasa yang dialami adalah senang dan bahagia. Sebaliknya, di saat suka, susah, malang dan sakit, efek rasa yang dialami adalah sedih, takut dan kecewa.
Apakah kita pernah membayangkan, sebuah kehidupan tanpa diwarnai dua sisa ganda ini?
Bayangkan, ketika kita sehat tanpa sakit, bisa saja kita akan kehilangan “ruang penghargaan” dalam hati terhadap pentingnya kesehatan bagi hidup kita.
Ketika kita untung tanpa pernah mengalami malang, bisa saja kita akan kehilangan “ruang peghargaan” dalam hati, terhadap pentingnya keuntungan dalam karya dan perjuangan kita.
Bila kita sungguh menyadari dan menghargai sisi ganda dalam hidup ini, maka sangat diperlukan penyerahan kepada Allah.
Jika kita hidup dalam penyerahan, maka hidup kita bukan hanya sekadar suatu rangkaian kejadian, tetapi merupakan suatu penetapan yang matang.
Hidup merupakan suatu penetapan, berarti Allah sungguh mempunyai rencana bagi kita masing-masing. Bila Allah tidak mempunyai rencana bagi kita, maka kehidupan kita tidak mempunyai arti sama sekali.
Sampai pada level kesadaran ini, kita bisa memahami “tragedi” Corona dalam perspektif penetapan Allah, dengan berani bertanya: “Apakah tragedi Corona merupakan sarana didik Allah bagi kita manusia moderen?”
Kita menyaksikan ketika Corona melanda dunia seketika itu juga, ada kesadaran bajik seluruh anak bangsa di dunia untuk:
¤ Menghargai keheningan yang selama ini hilang karena hiruk pikuk, kesibukan dan kebisingan teknologis dengan memutuskan untuk tinggal di rumah.
¤ Menghagai diri yang selama ini menjadi “hamba” dari pekerjaan dengan merenung tentang apa itu hidup dan karya dalam keheningan di rumah.
¤ Menghargai sesama yang selama ini kita anggap hanya sebagai objek dan bukan subjek, yang dapat memberi makna kepada hidup kita dengan memandang mereka sebagai pembawa rahmat bagi hidup kita.
¤ Menghargai Tuhan yang selama ini “dilupakan” karena kita merasa bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu bantuan-Nya, dengan berdoa khusuk mohon pertolongan-Nya.
¤ Menghargai tempat ibadah, yang selama ini kita anggap seperti sebuah gudang, sehingga kita masuk tanpa sopan santun dalam berpakaian dan tanpa menjaga kekhusukkan, dengan saat ini memutuskan tinggal dan berdoa di rumah saja yang tentu rasanya berbeda.
¤ Menghargai para pemimpin yang selama ini kita remehkan dan hujat hanya karena kepentingan politik golongan dengan mentaati peraturan dan berbagai kebijakan yang diberikan kepada kita sebagai warga negara.
Sungguh virus Corona (seakan) datang sebagai malaikat pencabut nyawa, tetapi sekaligus sebagai malaikat pembawa kesadaran baru bagi kita, manusia moderen, yang sudah tenggelam dalam suatu “samudera” maha luas, yang menyebabkan kita “ngos-ngosan” dan hampir putus napas.
Kita perlu jujur dan mengakui, bahwa selama ini kita tenggelam dalam samudera mahaluas berupa: sekularisme, modernisme, individualisme, pemujaan terhadap otonomi diri dengan merendahkan sesama; pemujaan terhadap iman sendiri dengan menganggap umat beriman yang lain sesat atau kafir; pemujaan terhadap intelektualisme dengan meremehkan hikmah di balik pangalaman hidup; pemujaan terhadap perkembangan teknologi moderen dengan membiarkan hidup didikte oleh teknologi, dan lain-lain.
Jadi, “maaf”, tidak berlebihan kalau saya mengatakan Corona adalah sarana edukasi (alat pendidikan) dari Allah untuk mencerdaskan kita manusia moderen, agar kita kembali menyadari bahwa diri kita sangat berarti dan karena itu perlu dihargai dan dihormati.
Dengan menghargai dan menghormati diri sendiri dan sesama, berarti kita pun menghormati dan menghargai Allah Sang Pencipta, yang menggagaskan hidup kita melalui kandungan seorang ibu.
Tabahkan hatimu dan tetaplah berharap pada- Nya, di tengah ketakutan yang mendunia saat ini.
¤ Surabaya, 24 Maret 2020.
Catatan Redaksi:
Penulis adalah Pastor. Tinggal di Surabaya.
Anda dapat membaca artikel lainnya di Google News