Oleh: *Yunanto*
Pelangi itu indah, karena terdiri atas beberapa macam warna. Menjadi tidak indah atau kurang indah, andai pelangi hanya sewarna. Maka perbedaan itu sesungguhnya indah dalam keharmonisan yang serasi dan selaras.
Setiap elemen pembeda tentu memiliki ciri khas. Sama halnya dengan elemen warna pelangi. Merah, biru, kuning, jingga dan seterusnya, memiliki kekhasan masing-masing. Beda dan khas dalam satu kehadiran harmonis. Di situ esensi keindahan bersemayam.
Bertolak dari “filosofi pelangi”, saya kerap membayangkan betapa indah ragam berita media dalam jaringan (daring) atau online andai berbeda-beda dalam penyajiannya. Peristiwa sebagai bahan baku utama berita boleh sama. Namun bila penyajiannya berbeda-beda, tentu serupa pelangi indahnya. Berpotensi kuat memikat khalayak komunikan media.
*Khas Berkarakter*
Saya mencermati banyak meda daring mempublikasikan satu peristiwa yang sama. Wujud penyajiannya boleh dibilang seratus persen sama, yaitu berbentuk berita lurus atau berita langsung ( straight news). Nyaris seratus persen pula kalimat judul sama atau serupa.
Ragam gaya bahasa dalam tubuh berita pun sama atau serupa. Mulai dari teras berita ( lead) hingga ekor berita. Hampir seratus persen seragam berwujud what lead, who lead dan gabungan what and who lead Serupa pelangi satu warna. Di mana indahnya? Di mana ciri khas dan karakter medianya?
Keseragaman pemberitaan dalam jenis bentuk berita dan gaya bahasa jurnalistik, berpotensi melahirkan kejemuan dan kejenuhan di kalangan komunikan media. Selain itu juga menguatkan opini, bahwa media daring tidak memiliki kekuatan membangun ciri khas.
Ilustrasi yang memperkuat opini tersebut adalah fakta. Jenis bentuk berita tak hanya satu. Selain straight news juga ada berita ringan yang “cantik dan memikat” ( soft news). Ada pula reportase mendalam ( depth reporting), atau pemberitaan mendalam ( indepth news).
Berikutnya, masih ada bentuk berita feature Ini bentuk berita kisah secara mendalam dengan cara membongkar dan mengangkat why dan how atas what, who, where dan when Feature disebut pula berita bertutur. Harus enak dibaca, agar tidak membosankan. Lantaran itu narasi feature harus kaya perbendaharaan kata; kaya idiom.
Begitu pula halnya ragam bentuk teras berita. Jumlahnya sebanyak elemen berita (5W + H). Konkretnya, mulai dari what lead, who lead, where lead, when lead, how lead hingga why lead.
Saya mengamati, sangat sedikit media daring yang “berani” ke luar dari kebiasaan menyajikan what lead, who lead atau gabungan keduanya. Memang benar, intisari berita adalah what dan who. Namun teknik penyajian lead yang memikat idealnya tidak terpaku pada elemen what dan who
Dari ragam kalimat judul dan jenis teras berita tersebut, sebuah media daring bisa memulai membangun ciri khas dan karakternya. Semakin kuat ciri khas dan karakter bila media daring mampu “ke luar” dari kebiasaan hanya menyajikan straight news.
Pendek kata, berani tampil beda dengan soft news, indepth news, depth reporting, feature bahkan publikasi analisis dan prediksi. Kekhasan dalam aneka ragam penampilan beda, sungguh seindah pelangi.
*”Kunci” Beda*
Teknik penyajian naskah berita menjadi “kunci” awal melahirkan pemberitaan yang tampil beda, khas dan berkatakter. Kendati, sekali lagi, peristiwa sebagai bahan baku utama pemberitaannya sama.
“Kunci” pertama yang harus dimiliki oleh media massa (termasuk media daring) adalah politik redaksional. Harus jelas, tegas dan lugas “jenis kelamin” medianya. Spesifikasi publikasinya. Konten dominan medianya.
Dari sini awal membangun kekhasan suatu media sekaligus karakternya.
Politik redaksional suatu media menetapkan medianya mendominasikan pemberitaan peristiwa tindak pidana korupsi (tipikor), misalnya. Maka, konten media tersebut mayoritas haruslah berita-berita tentang peristiwa tipikor. Lazimnya 70 – 80 persen dari total konten.
Berikutnya, politik redaksional menetapkan dominasi jenis pemberitaannya berbentuk indepth news, depth reporting dan feature misalnya. Maka berita berbentuk straight news dan soft news mendapat porsi yang minim dalam total konten media.
Bagaimana halnya dengan media daring? Sama saja. Harus memiliki politik redaksional yang jelas, tegas dan lugas. Politik redaksional itu harus bisa diwujudkan secara konkret.
Boleh-boleh saja politik redaksional menetapkan sebagai media umum. Artinya, semua ragam peristiwa “dimakan” habis. Mulai dari peristiwa hukum/kriminal, ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, seni budaya, olahraga dan lainya. Namun tetap harus dihadirkan pembeda pada teknik penyajian.
Parameter pembeda harus dibangun. Misal, diawali dari politik redaksional tentang kelayakan publikasi. Parameter pun ditentukan dari aspek kelayakan peristiwa, kelayakan narasumber, dan kelayakan bobot berita.
Selanjutnya dibangun pula politik redaksional tentang ragam jenis berita mengacu pada kelayakan publikasi. Misal, peristiwa kriminal berupa delik aduan, berskala lokal, korban dan nilai kerugian minim, dan tidak berdampak signifikan pada kamtibmas setempat, cukuplah disajikan dalam bentuk _soft news_.
Seperti di bagian awal artikel ini, akhir artikel saya tutup dengan membayangkan lagi. Seandainya ada banyak media daring yang tampil beda dalam ciri khas dan karakter publikasi, jagat publikasi Indonesia bagaikan pelangi. Warna-warni. Indah! (☆)
Catatan:
Penulis adalah wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982 – 2002; alumnus Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.