Yunanto
Saya tidak kenal Almarhum Didi Kempot secara pribadi. Jembatan emosional saya dengan Maestro Campursari Indonesia itu terbangun lewat lagu-lagu karyanya. Luar biasa indah narasi liriknya. Mudah dicerna, tepat menukik ke pusat nalar dan rasa.
Membicarakan sosok legendaris sekelas Almarhum, memang bisa dari berbagai sudut pandang. Salah satunya dari sudut pandang pendidikan formal. Terbukti lagi sekarang, tinggi-rendah pendidikan formal seseorang, tidak selalu menjadi tolok ukur untuk bisa lahir sebagai sosok legendaris di jagatnya.
Spontan saya ingat pada Almarhum Parada Harahap dan Almarhum Adam Malik Batubara. Itu terjadi sesaat setelah saya menerima warta meninggalnya Didi Kempot, Selasa pagi, 5 Mei 2020. Para legendaris di dunianya masing-masing itu berpendidikan formal tidak tinggi.
Salah satu “Bapak Jurnalis Indonesia”, Parada Harahap, tamat SD pun tidak. Ia berdaya mampu menjadi jurnalis besar pada eranya. Sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman Indonesia merdeka. Ia mampu mendirikan dan memimpin sendiri perusahaan penerbitan surat kabar.
Parada Harahap bahkan membidani berdirinya Akadami Publisistik di Jakarta, awal dekade 1950. Ia juga memberikan kuliah jurnalistik berbasis segudang pengalamannya sebagai wartawan. Perguruan tinggi kewartawanan satu-satunya di Indonesia itu tumbuh pesat hingga menjadi Sekolah Tinggi Publisistik, 1953.
Sosok legendaris Adam Malik Batubara pun demikian. Pendidikan formalnya “hanya” SMP. Namun ia bisa tumbuh menjadi jurnalis besar tiga zaman. Zaman kolonial Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman Indonesia merdeka.
Sosok legendaris berdarah Batak asal Pematangsiantar itu bahkan berkemampuan mendirikan lembaga kantor berita. Masih eksis hingga kini, yaitu Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Suksesnya berlanjut hinga menjadi Menteri Luar Negeri RI, beberapa periode. Puncaknya, menjadi Wakil Presiden RI.
Kuncinya Belajar
Parada Harahap, Adam Malik dan Almarhum Didi Kempot memang berpendidikan formal tidak tinggi. Sukses berhasil mereka raih dengan satu cara jitu, yaitu belajar dan terus belajar. Tiada akhir.
Belajar dari berbagai sumber. Belajar pada para senior. Belajar pada lingkungan sosialnya. Jatuh-bangun dijalani, ditekuni. Pantang minder. Tabu rendah diri. Pamali mengeluh. Namun juga tidak congkak. Memang itulah “kunci ajaibnya”.
Catatan Kecil ini memang saya hajatkan untuk adik-adik jurnalis muda. Jangan merasa minder karena tidak berpendidikan formal sarjana. Kunci keberhasilan Anda sebagai jurnalis tidak terletak di ijasah sarjana atau pun gelar sarjana.
Parada Harahap, Adam Malik dan Didi Kempot telah memberi teladan sekaligus menghadirkan bukti. Rendahnya tingkat pendidikan formal bukan penghalang untuk menggapai keberhasilan.
Belum tentu sarjana (strata berapa pun) mampu menguasai secara fasih beberapa bahasa asing sehebat Adam Malik yang hanya mengantungi ijasah SMP.
Belum tentu sarjana komunikasi strata tiga sekalipun bisa sehebat Parada Harahap dalam hal publisistik praktika, kendati tamat SD pun tidak.
Nah belum tentu pula sarjana seni juga bisa menjadi sekaliber Didi Kempot yang SMP pun tidak tamat.
Sekali lagi, belajar dan terus belajar. Jatuh-bangun ditekuni. Belajar tanpa rasa rendah diri, tapi juga tanpa arogan.
Belajar tiada berkesudahan.