Oleh Hendrika LW
Lahir dan bertumbuh dalam keluarga broken home, menjadikan mentalku tidak stabil. Memiliki paras cantik, tapi batinku tercabik-cabik. Kondisi ini membenturkan jiwaku dalam keretakan, sehingga emosiku meluap-luap laksana hempasan gelombang dahsyat. Celakanya lagi, aku jadi tak suka bergaul dengan cowok. Dan hal itu nyaris menyeretku ke dalam lorong dunia, bernama lesbi. Duh… Gusti!
Kata orang-orang, aku lahir dari hasil kawin paksa. Ibu yang baru berusia 15 tahun, beberapa bulan lagi tamat SMP, dipaksa menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Meski sempat menolak, namun desakan kakekku tak mampu dikalahkan.
Buah pernikahan itu, lahirlah seorang bayi perempuan bernama Dian Pradnya Paramitha. Ya, itulah aku, yang lahir pada Senin dini hari. Nama Dian memiliki filosofi tersendiri. Mungkin orangtuaku berharap, aku menjadi ‘cahaya’ dalam keluargaku.
Secuil kebahagiaan melukis seisi rumah, kecuali ibu, karena aku lahir dari rahimnya yang gelisah akibat perjodohan yang tidak dikehendakinya.
Bulan terluka, ilalang terkulai dalam hempasan bumi yang fana. Kisah ibuku melengkapi perempuan-perempuan yang hidup dan kawin di zaman Siti Nurbaya.
Seorang gadis tidak berhak untuk memiliki kebebasan menentukan pilihannya. Semua perjodohan datang dari ayah, atau ibu bahkan paman pun ikut menentukan siapa jodoh sang anak gadisnya.
Perjodohan semacam ini juga masih berlaku di kampungku. Bahkan gadis-gadis desa tetangga pun mengalami nasib sama seperti ibuku.
Kawin paksa atau terpaksa kawin menjadi guratan nasib kaum perempuan. Apalagi jika pria yang dipilih atas kehendak orangtua memiliki harta melimpah.
“Sudahlah, Nak. Tidak baik menolak Aryo. Dia anak orang kaya. Hidupmu tak akan susah,” kata ibuku mengingat nasihat kakek.
Ibuku menangis histeris. Ia ingin menyelamatkan sekolahnya. Ia juga ingat Agung, pacarnya.
Penolakan ibu, rupanya tidak digubris kakek. Bahkan akibat ibu menolak, kakekku tak segan-segan memukul ibu.
Di usia belia, Arum Gayatri sudah menyandang status nyonya Aryo Mukti. Secara ekonomi, kata orang-orang, ibuku bakal bahagia karena tak kurang suatu apa. Namun jauh di lubuk hati terdalam batin ibuku terluka.
Hari-hari selanjutnya, mahligai rumah tangga itu bagaikan bara api dalam sekam.
Kehadiranku di tengah keluarga, membuat ibuku sangat menderita. Ibuku belum siap menjadi seorang ibu, yang harus mengurusi bayi. Maklum, ibuku masih terlalu muda, yang sebenarnya masih suka bermain-main dengan teman seusianya.
Ibuku amat tertekan mengurus rumah tangga. Apalagi merawatku, yang sering rewel dan sakit-sakitan. Emosinya benar-benar tidak stabil. Ibu gampang marah, dan mudah berselisih paham dengan ayah.
Hingga pada suatu hari, ketika usiaku baru dua tahun, kedua orangtuaku bertengkar hebat. Sejak peristiwa itu, ayahku jarang pulang. Kondisi ini membuat rumah tangga kian goyang, dan akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
Sejak saat itu pula, ibu resmi menyandang status janda. Tidak ada pilihan lain kecuali membawa aku kembali ke rumah nenek. Sementara ayahku menikah lagi.
Di usia masih kanak-kanak aku hidup tanpa ayah. Aku hanya diasuh ibuku dan nenek. Sementara kakekku telah meninggal, tak lama setelah aku lahir.
Makin hari aku makin bertumbuh besar. Aku sudah memasuki sekolah dasar, yang tak jauh dari rumah.
Sering aku dibully teman-teman karena aku tak punya ayah. Ketika aku bertengkar dengan mereka, lantas mereka mengataiku macam-macam soal ayah.
Aku bersikap masa bodoh dengan ucapan mereka, walau hati kecilku sedih. Sebenarnya aku ingin marah, tapi marah kepada siapa?
Aku ingin melawan teman-temanku, dengan menunjukkan, aku bisa berprestasi. Aku berusaha keras untuk belajar, agar teman-teman tidak menyepelekan aku.
Aku sering belajar hingga larut malam, dan pagi-pagi buta aku sudah bangun untuk belajar lagi.
Suatu ketika, aku ketiduran pas jam pelajaran matematika. Bidang studi yang paling aku gak suka. Rupanya pak Munandar tahu. Dengan nada marah, ia memanggilku maju ke depan.
“Dian. Sini kamu. Maju ke depan!” hardiknya.
Pak Munandar termasuk guru yang disegani karena terkesan galak. Itulah sebabnya anak-anak memanggilnya guru angker. Memiliki postur tubuh kekar, kulit coklat gelap, kumis tebal, mengesankan seorang guru yang benar-benar angker.
“Kamu kenapa tidur?”
Sebelum aku menjawab pertanyaannya, tentu aku masih mencari alasan yang tepat.
“Kamu tadi malam bagadang ya?” pukasnya.
“Aaa…a anu, Pak.”
“Anu apa, ayo jawab!” hardiknya.
Selama ia memarahiku, seluruh siswa membisu. Antok yang biasa usil di kelas, nyaris tak bisa berkutik. Seisi ruang kelasku seakan tak ada siswa. Sunyi mencekam. Semua larut dalam ketakutan.
Pak Munandar baru berhenti memarahiku setelah lonceng sekolah tanda istirahat berbunyi. Aku bersyukur diselamatkan lonceng besi itu. Namun pak Munandar memberi aku sanksi, mengerjakan PR.
“Tulis soal ini. Besuk harus kumpul!” kata pak Munandar memberikan secarik kertas.
Dengan tertunduk aku kembali ke tempat. Sejak peristiwa itu, hampir setiap hari aku tak pernah sepi dari bullying.
“Dasar anak broken.”
Aku bersikap masa bodoh. Tak mau pusing memikirkan perkataan mereka. Tetapi aku hampir kehilangan kesabaran ketika Destianti meledekku.
“Tuh, makanya malem-malem tidur. Jangan banyak ngelamun. Biar kagak ketiduran di kelas.”
Untunglah ada Arisanti, yang menasihati agar aku tak meladeni.
“Sabar Dian. Gak usah diladeni,” kata Arisanti menarik lenganku.
Senin pagi, setelah upacara bendera. Aku dipanggil Bu Yana, pegawai tata usaha. Aku belum bayar SPP selama 3 bulan.
Sebenarnya aku lahir dalam keluarga berada. Sayang, setelah menikah lagi, ayah tak pernah memperhatikanku. Kata ibu, ayah tiga kali menjengukku saat aku masih kecil. Setelah itu, tidak pernah datang lagi sampai sekarang.
Untuk menyambung hidup, ibuku bekerja di sebuah restoran, yang cukup terkenal. Ya, di situlah ibu bertemu dengan seorang polisi, yang kemudian menjadi pacarnya.
Memiliki paras ayu, ibuku rupanya menjadi kembang yang memikat para pria.
Selain pacaran dengan pak Hendarto seorang polisi, ada pria lain bernama Purnomo. Namun ibu memilih Hendarto. Pilihan ibu cukup realistis. Dengan begitu ibu merasa dilindungi jika ada pria lain yang menggodanya.
Hubungan ibuku dengan Hendarto seumur jagung. Pria yang diidolakan ibuku ternyata sudah punya istri. Rupanya ia hanya memanfaatkan status ibuku yang menjanda. Putus dengan Hendarto, ibuku sempat patah hati.
Untuk menghilangkan rasa sakit hatinya, ibuku pindah kerja di Jakarta, lagi-lagi di sebuah restoran.
Di situ pulalah ibuku mengenal seorang pria, yang cukup tampan, berperawakan tinggi dan kekar. Tak lama setelah pacaran, untuk kedua kalinya ibuku menikah. Ya, ia menikah dengan Erwandi, pria asli Bandung.
Suatu waktu mereka pulang ke rumah nenek.
Kepulangan ibuku bersama suami barunya, membuat aku dan nenek bahagia. Lebih-lebih aku yang selama ini merindukan ibuku. Sayang kebahagian itu berubah menjadi kebencian, lantaran ibu dan ayah tiriku sering bertengkar.
Entah apa penyebabnya, aku tidak tahu. Yang aku ingat, ibuku menangis, meraung-raung sangat keras. Hingga aku dan nenek terbangun. Nenekku tak bisa berbuat apa-apa.
Perempuan sabar, yang selama ini mengasuh aku dengan susah payah, memilih diam. Aku pun tak mampu berbuat apa-apa.
Aku mengintip mereka dari depan pintu kamar, yang hanya ditutupi kain korden lusuh. Laki-laki itu memukuli ibu, menjambak rambutnya, dan melontarkan kata-kata kasar.
Melihat ibuku diperlakukan seperti itu, aku hanya menangis sedih. Tanpa protes apalagi melerai. Air mataku mengalir deras. Nenek memelukku.
Andai waktu itu, aku sudah cukup besar, aku pasti berusaha membela ibuku. Sekali pun nyawaku sebagai taruhannya.
Laki-laki itu terus mengumpat-umpat, dengan kata-kata sangat kasar yang menyakitkan. Tak pantas didengar. Segala sumpah serapah, tumpah ruah di pangkuan ibuku.
Masih dari balik korden lusuh itu, aku melihat ibuku semakin histeris. Apalagi ketika ayah tiriku menghantam kaca almari. Satu-satunya benda peninggalan kakek, yang paling berharga, hancur berkeping- keping.
Aku semakin ketakutan. Meski dipeluk nenek.
Bedebah! Laki- laki itu makin kalap, beringas. Semua pakaian milik ibu dalam almari dikeluarkan, dibakarnya. Api melalapnya habis sampai menjadi onggokan arang.
Itulah awal hari aku menabung kepedihan dan kebencian pada laki-laki. Hari demi hari, peristiwa itu semakin tumbuh subur di dasar hatiku. Peristiwa itu pula yang kemudian menjadikan aku pribadi yang temperamental, gampang tersulut emosi.
Suatu waktu, aku nyaris berkelahi gara-gara hal sepele. Doni meledekku di depan teman-teman, saat istirahat. Saat itu aku akan ke kantin, ia dengan lantang nyeletuk.
“Heh, putri tidur! Jangan tidur lagi di kelas, ntar kita juga ikut dimarahin pak Munandar!” kata Doni ketus.
Teriakan Doni menyulut emosiku. Aku berusaha menghajarnya namun dicegat teman-temanku. Rina yang lagi duduk di depan kantin, berusaha melerai.
“Udah deh Dian. Ngapain ribut-ribut sama anak itu,” kata Rina menarik bajuku.
Suasana baru reda setelah bu Rahayu, wali kelas mendamaikan. Ia menyuruh aku sama Doni berdamai.
“Ayo salaman. Udah ya, jangan ada lagi yang bikin onar di sekolah,” pinta Bu Rahayu tegas.
Mentalku terasah dari kekerasan yang aku lihat, bagaimana ayah tiriku memukul ibu.
Berharap kasih sayang seorang ayah, aku justru dihadapkan dengan ayah tiri yang suka ringan tangan terhadap ibu. Hal sepele bisa menjadi petaka bagi ibuku.
Ternyata setelah menikah, barulah ayah tiriku mengetahui ibu seorang janda.
Rupanya saat pacaran, ibu tidak berterus terang kalau ia seorang janda. Sangat boleh jadi, ibu takut akan ditinggalkan pak Erwandi. Jika ibu mengaku seorang janda, apalagi punya anak.
Tak tahan dengan perlakuan ayah tiriku, ibuku menuntut cerai.
Entah apa yang kupikirkan, setiap hari perasaanku kacau. Neneklah yang selalu membesarkan hatiku.
“Nduk, kamu harus jadi anak yang pinter. Sekolah yang rajin,” ujarnya suatu waktu.
Nasihat nenek menjadi sumbu yang menyalakan api semangatku untuk giat belajar.
Bahkan, itu juga menjadi modal hingga aku terlihat tetap ceria, saat bermain bersama teman sebaya. Tak ada ekspresi kepedihan apalagi rasa minder.
Satu hal yang membuat nenekku bangga, aku termasuk siswa berprestasi di sekolah.
Aku bertumbuh dalam gelombang perasaan yang penuh gejolak. Situasi yang kualami, seperti cat yang ikut mewarnai kehidupanku.
Suatu hari, ketika sedang asyik bermain kelereng bersama teman-temanku, tiba-tiba sebuah jari menyentuh lembut bibirku.
Aku kaget. Ketika aku menoleh, ternyata pemilik jari itu adalah Mas Indro. Seorang laki-laki yang sudah kukenal dengan baik. Beberapa tahun lebih tua dari usiaku.
Ya, dia tetanggaku. Aku merasa terhina, jengkel, marah, kenapa dia menyentuh bibirku. Tapi aku tak berani melawan apalagi mengadu ke nenekku.
Hal itu bisa saja tak masalah bagi orang lain, atau terlihat sepele. Tetapi tidak bagiku. Itu sangat tidak menyenangkan.
Perlakuan tidak sopan laki-laki itu, menanam bibit rasa marah dan benci dalam hidupku.
Dalam batin yang masih tercabik, akibat kebencian dalam diriku yang kian subur, Arif teman sekolahku menyatakan cintanya padaku.
Aku marah! Anak masih bau kencur berani-beraninya mengungkapkan perasaan cinta. Padahal aku sama Arif berteman baik. Setiap hari bermain dan belajar bersama.
“Dian, aku suka kamu,” katanya.
Karena perkataannya itu, teman-teman lantas mengolok-olokku.
“Arif suka Dian, Arif cinta Dian!”
Mereka serempak meneriaki namaku dan Arif seperti koor. Mungkin maksudnya hanya bercanda, namun kata-kata mereka menjadi alasan bagiku untuk tidak lagi berteman dengan Arif.
Bahkan sampai lulus sekolah, aku tak pernah bertegur sapa dengannya.
Menanjak usia remaja, pesona kecantikanku mulai tersimpul. Laksana bunga yang sedang memamerkan kembangnya, ketika disorot sinar mentari pagi.
Kata orang-orang, aku berparas cantik. Ini sesuatu yang membuat aku bangga. Meski secara mental jiwaku tak secantik yang terpampang di wajahku.
Kecantikanku sering dibandingkan dengan ibuku. Meski cantik, aku tidak angkuh. Aku pendiam, tapi pergaulanku luas, makanya teman-temanku terbilang banyak. Khususnya cewek.
Dalam hal pergaulan, aku memang enggan berteman dengan laki-laki yang lebih besar dariku. Entahlah!
Bagiku laki-laki itu kasar. Menakutkan, atau bisa juga seperti monster.
Sekolah bagiku tempat paling nyaman. Tak heran aku lebih senang berada di sana. Aku enggan pulang ke rumah, meski jam sekolah telah usai.
Aku merasa tidak nyaman berada di rumah. Karena kadang-kadang ada pacar ibuku, Najib. Pria keturunan India ini, bekerja di sebuah bank di kota lain.
Harus kuakui, kecantikan ibuku menjadi magnet bagi kaum pria. Meski dua kali menikah dan gagal, namun masih banyak pria yang menyukai ibuku.
Suatu siang, sepulang sekolah. Aku masuk ke kamar ibuku tanpa permisi. Aku berniat melihat jam dinding yang terpampang di kamarnya.
Benda bulat penunjuk waktu itu, sengaja ibu pampang di kamar ketimbang diletakan di dinding ruang tamu. Aku tak menyangka, ibuku lagi berdua bersama pacarnya.
Aku segera berlari keluar, sejauh-jauhnya dan tak berani pulang. Karena aku takut dimarahi ibuku. Aku benar-benar takut. Pikiranku kacau balau.
Mungkin karena cantik, ibuku punya banyak pacar. Sebenarnya aku merasa malu, karena teman-teman menyindirku. Tapi aku hanya diam.
Kadang-kadang aku protes melalui sikapku yang ketus ketika ada pacar ibu di rumah. Ibuku malah marah padaku.
“Dian, jaga sikapmu!”
Aku semakin tertekan. Mau lari dari rumah, tapi tak tahu harus ke mana. Ke rumah ayahku, sangat tidak mungkin.
Terpaksa. Aku menjalani hari-hariku dengan perasaan berat.
Setelah tamat SMP, aku memutuskan melanjutkan SMA ke luar kota. Aku ingin meninggalkan semua kenangan pahit.
Aku tinggal di sebuah rumah kost yang sederhana, tentu karena alasan keuangan.
Aku tak mau membebani ibuku. Jadi aku harus bisa berhemat dengan uang yang dikirimnya. Aku lantas berusaha mencari pekerjaan, untuk mencukupi kebutuhanku sendiri.
Aku bersyukur. Ada sebuah cafe yang menerima karyawan part time untuk sore. Jadi, sepulang sekolah aku bisa bekerja di sana hingga jam sepuluh malam. Ya, lumayanlah, bisa untuk tambahan makan.
Aku pulang ke rumah hanya bila liburan panjang, itu pun hanya sehari dua hari. Sebab aku juga harus bekerja. Selain karena hubunganku dengan ibuku, yang kurang baik.
Di sekolah, aku semakin cuek dengan cowok. Mereka juga sepertinya enggan mendekatiku.
Aku lebih akrab dengan beberapa teman perempuanku. Terutama Dita, Rahma, dan Feny. Kemana-mana kami selalu berempat. Tidur pun satu springbed, kalau kebetulan mereka main ke kostku. Dita dan Feny memang terlibat hubungan cinta.
Suatu ketika, entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan aneh menghampiri diriku.
“Oh Tuhan, perasaan apa ini? Aku suka dengan Rahma?”
Aku mengurai perasaanku sendiri. Waduh! Sepertinya aku jatuh cinta. Gawat! Aku cinta pada perempuan?
“Oh, Tidak! Aku tak mau menjadi seorang lesbian.”
Aku berusaha keras menghilangkan perasaan ‘ganjil’ ku itu. Aku pusing memikirkan bagaimana caranya.
Hingga suatu hari, aku diskusi tentang perasaanku kepada Bu Kartika, guru konselor di sekolahku. Singkatnya, aku disarankan menjauhi Rahma, dan kedua temanku itu.
Aku berupaya menepis segala pikiran dan perasaanku, yang tidak logis. Segala trauma kuusir jauh-jauh, walau sangat sulit.
Bu Kartika dengan sabar membimbingku untuk melepas semuanya, termasuk dendam dan amarah yang bersarang di otak bawah sadarku.
Bahagianya, aku mulai berhasil melepaskannya, walau perlahan-lahan.
Aku harus hidup normal, sebagai perempuan, yang bisa mencintai laki-laki secara wajar.
Benar, suatu hari, aku berkenalan dengan Alfredo. Cowok Ambon yang kuliah di sebuah Universitas swasta, jurusan Psikologi, yang tak jauh dari sekolahku. Aku tertarik padanya.
Ya, pada Alfredo, aku jatuh cinta. Cowok itu sangat simpatik.
Aku lebih menyukai bidang seni, ketimbang bidang lainnya. Karena sejak kecil aku suka menari, musik dan karya lukisan.
Maka aku memutuskan, melanjutkan kuliah di sebuah Universitas Negeri di kota yang sama. Tentu saja, jurusan Seni Tari.
Aku berusaha mendapatkan beasiswa, agar kuliahku lancar. Dan syukurlah, ada beasiswa dari pemerintah.
Aku merasa beruntung sekali, pemilik cafe dan teman-teman kerjaku sangat baik padaku. Sehingga disela waktu kuliah, aku masih boleh bekerja.
Belakangan ini, hubunganku dengan ibu mulai membaik. Ibuku terlihat bangga padaku. Sebab aku menjadi pribadi yang sangat mandiri dengan hidupku.
Aku semakin dewasa. Aku pun mulai bisa memahami semua hal yang dialami ibu.
Baru sekarang, aku merasakan kebahagiaan, memiliki seorang ibu yang menyayangiku.
Ibu jadi lebih sering datang mengunjungiku, dan membawakan makanan kesukaanku. Aku pun lebih sering pulang ke rumah, jika ada libur kuliah dan kerjaanku off.
Sudah hampir empat tahun, perjuanganku di kampus tak terasa. Kuliahku sudah selesai. Aku lega, sebentar lagi wisuda.
Ibu bilang, saat aku wisuda, akan datang dengan pakaian kebaya putih. Ibu juga sudah menyiapkan kebaya bagus untukku.
“Kamu pasti kelihatan lebih cantik memakai ini,” ibuku kelihatan bahagia sekali.
Aku sibuk-sibuk membereskan administrasi kampus dan lain sebagainya. Rasanya, aku bahagia sekali karena jerih payahku selama ini tidak sia-sia.
Cita-citaku untuk menjadi seorang penari profesional mulai terwujud.
“Thanks God.” lafalku di setiap hela nafasku.
Waktu terus bergulir, semakin mendekati hari H. Aku sudah tak sabar, untuk bisa berfoto bersama ibuku, dengan baju kebaya yang sudah disiapkannya.
Hatiku deg-degan. Kenapa ya?
“Ah, mungkin karena nervous saja.” pikirku
Tapi ada perasaan gundah gulana, yang terus menyelinap batinku. Aku mencoba menepisnya dengan lafal doa.
Sehari menjelang wisuda, saat aku mengamati fotoku sewaktu bayi dalam gendongan ibu. Aku dikagetkan oleh dering telepon, dari pamanku.
“Dian, kamu yang tabah dan iklhas ya,” pamanku terbata-bata melanjutkan bicaranya.
“Ibumuu, ibumuuu…barusan meninggal, dalam sebuah kecelakaan di jalan raya.”
Oh Tuhan,…..
*** Tamat ***
Penulis : wartawan, pegiat masalah sosial, dan penikmat sastra.