Oleh : Hendrika LW
Sorot matanya teduh. Lebih teduh dari pohon jambu, yang tumbuh di halaman rumahku. Tutur katanya pun sangat halus dan sopan. Mungkin dia berasal dari keluarga priyayi.
Itulah sekilas gambaran, saat awal kujumpai Panji. Sosok berbadan tegap itu, membuatku terkesan dengan pembawaannya. Ya, dia Panji. Lengkapnya Panji Asmoro. Cowok yang kukenal di kota Bogor, kemudian menjadi pacarku.
Pertemuanku dengan Panji di sebuah bank. Dalam posisi antre menuju teller. Semenjak itu, seiring perjalanan waktu, komunikasiku dengan Panji terus terjalin meski hanya sekedar menyapa atau say helo.
Dari pertemuan itu aku menangkap kesan, banyak hal, kami berbeda. Dan itu secara jujur aku utarakan kepada Panji, dalam sebuah surat elektronik.
“Bukankah waktu itu aku sudah bilang, tak mungkin kita bersama. Karena kita sangat berbeda, tapi kamu tak paham maksudku.”
“Tanpa berkata-kata, kamu menghilang begitu saja. Aku berusaha mencarimu untuk menjelaskan, tapi kamu selalu menghindariku,” tulisku.
Seakan aku ingin memperjelas, mengapa aku dan Panji berbeda karakter. Aku terus saja mengedit perasaanku, membiarkan naluriku menerka, apa gerangan yang terjadi dengan cowok yang baru kukenal itu.
Aku masih ingat, pertemuanku dengan Panji. Waktu itu, secara kebetulan kami berada di tempat yang sama, mengantre di depan teller di sebuah bank. Kami duduk di deretan kursi silver, yang hari itu sangat padat.
“Nomor berapa, Mas?” sapaku mendahului.
Aku sengaja melempar senyum manisku. Aku melepaskan senyum itu laksana panah melesat dari busurnya.
Aku tak bisa membisu bila bertemu dengan seseorang, apalagi jelas-jelas duduk berjajar denganku. Tak mungkinlah aku mematung saja.
“Nomor seratus, Mbak,” jawabnya singkat dan ramah.
Antrean hari ini begitu panjang, sepanjang itu pula kami bercakap-cakap.
“Oiya, namanya siapa, Mbak? Dari tadi ngobrol kok belum kenalan,” tanyanya, dengan senyum menawan.
“Saya Kinara,” jawabku singkat, tentu masih dengan senyum manisku.
“Saya Panji,” timpalnya.
Pertemuan singkat itu berlanjut dengan momen yang aku tunggu. Kami bertukar nomor handphone.
Hari-hari berikutnya terkadang saja kami saling menyapa lewat WhatsApp. Sekedar say helo, tanya kabar. Tak ada yang istimewa. Karena ternyata, Panji adalah orang yang irit bicara, irit nulis WhatsApp pula.
“Ya, begitulah….”
“Selamat pagi Kinara, apa kabar?” sapa Panji melalui pesan WhatsApp.
Sebelum aku membalas, ia mengirim lagi WA. Kali ini dia menawarkan untuk bertemu sekaligus mengajakku makan di resto.
“Bisa gak, nemenin aku makan?” pintanya.
Itu WA nya di suatu pagi.
“Mimpi apa nih orang, menyapaku duluan,” pikirku.
“Haiii, pagi juga Panji, kabarku baik-baik aja.”
“Emm, gimana ya, kayaknya aku gak bisa nih.”
“Hari ini aku lagi full kerjaan. Boleh gak kalo lain kali aja,” kataku begitu.
“Ya, okelah,” jawab Panji.
Aku menangkap isyarat, jawaban Panji ketus. Terkesan terpaksa. Mungkin karena aku belum bisa memenuhi permintaannya.
Ya begitulah, hari berikutnya sepi, tak ada sapa menyapa. Kami fokus dengan kegiatan masing-masing.
Kuakui Panji cukup tampan dan tampak baik. Setidaknya itu kesanku. Walau aku belum pernah mendapatkan kebaikannya secara nyata.
Tapi ada juga sih, hal yang membuatku sebal. Cowok itu malas komunikasi. Sepertinya Hp android bermerk itu, dia pakai untuk keperluan kerja saja.
Maka itu, aku kadang malas chatting WA dengan dia, lama responnya.
Begitu balas, hanya bilang,
“Maaf ya, lama respon.”
Aku bilang,
“Iya, gak apa-apa, yang penting masih ada respon.”
Tapi WA nya kali ini, membuatku kaget.
Panji yang biasanya sopan banget, sampai-sampai nyamuk pun segan dengan dia. Tiba-tiba merespon status WAku. Ya, di status, aku memajang foto waktu olah raga di sebuah klub kebugaran.
Aku mengenakan kostum yang agak ketat. Sebenarnya menurutku sih wajar saja, namanya juga olah raga. Masak pakai daster sih.
Aksiku itu, ternyata memikat perhatian cowok alim itu.
“Kinara, DP-nya cantik deh, seksi!” kata Panji memuji.
“Iyalah, Nji. Aku kan perempuan, ya cantiklah,” jawabku.
“Sorry ya, aku canda,” katanya lagi.
Percakapan singkat itu, berlalu begitu saja. Hari-hari berikutnya, ya sepi lagi. Tak ada WA. Kendati demikian aku tersanjung oleh pujian Panji. Baru sekali ini cowok alim itu, tiba-tiba memuji foto storyku. Sengaja atau tidak. Ah entahlah. Untuk apa aku memikirkannya.
Suatu sore aku kirim WA.
“Sore Nji, apa kabar, ke mana aja dirimu?” tanyaku selidik.
Hmm, kali ini dia merespon begitu cepat. “Quick response”. Secepat kilat. Hee..
“Sore Kinara, aku baik. Gimana denganmu?” balasnya.
Saat itu tak kusangka Panji menyatakan perasaannya selama ini. Dia suka sama aku, saat bertemu di bank itu.
Oh My God!! Aku kaget bukan kepalang. Tapi aku tak mau merasa GR, gede rasa. Karena kurasa tak mungkin itu terjadi.
“Kinara, aku suka kamu, sejak awal kita ketemu, boleh gak kita berteman?” katanya memohon.
“Lhaa, kan dari kemarin-kemarin kita sudah berteman. Gimana sih maksudmu, Nji?” jawabku sedikit ngeles.
“Aku serius, Kinara,” katanya.
“Ya, aku Aquarius, hee,” candaku.
Rupanya dia marah, dengan jawabanku itu.
“Hadeh, cowok kok suka ngambek ya. Sebel deh. Aku gak suka,” gerutuku.
Ku coba beranikan diri. Aku tulis WA ke dia, tapi gak dibaca. Langsung dihapus. Hmm, seperti naskah salah ketik, yang harus didelete segera.
“Iiih, sensitif benget nih orang.”
“Bodoh amat ah. Kenapa gue pikirin?!” kataku cuek, bila mengingat tingkah Panji.
Sebenarnya Panji cowok yang supel. Buktinya, waktu itu bisa asyik mengobrol denganku. Setidaknya itu kesan awal yang familiar.
Walau pun kadang menyebalkan. Betapa tidak. Sudah jarang WA, irit kata pula. Pantesan Mahesti sahabatku, sempat mengingatkan agar aku menjauhi cowok itu.
“Udahlah Ki, ngapain berteman sama Panji.”
“Dia cowok yang dingin, gak asyik,” kata Mahesti, saat makan di kantin.
Sebenarnya aku gak prasangka buruk sama Mahesti. Apalagi dia teman kerjaku. Mungkin sarannya baik. Apalagi dia tahu, Panji tipe cowok yang terkesan cuek dan jarang komunikasi.
“Kalau aku ya, cowok, kayak pacar lu itu, gue udah tinggalin,” sambung Mahesti lagi.
Di antara teman kerja, aku sama Mahesti sangat akrab. Jika ada masalah, kami saling sharing. Itu karena aku dan dia bisa menjaga hal privasi. Ketimbang, Dewi atau Susanti.
Dua temanku ini, tidak tahu menyimpan rahasia. Di kantor teman-teman menjuluki mereka, cewek ember. Karena sering keceplosan membocorkan rahasia teman.
Hampir saja, aku menuruti saran Mahesti untuk menjauhi Panji, atau sekalian memutuskan hubungan dengan dia. Apa yang disampaikan Mahesti sangat masuk akal juga sih. Untuk apa menjalin hubungan dengan orang yang super dingin.
Sebelum aku mengambil keputusan, suatu malam aku nulis WA, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Panji.
“Malam Nji, apa kabar, maafkan aku ya kalau ada salah,” kataku langsung to the point.
Di luar dugaan, cowok yang kusapa ‘Nji’ itu, membalas WA-ku.
“Iya,” jawabnya, bikin aku sebal.
Bayangin aja, jawaban sesingkat itu, seakan membenarkan, aku salah, tanpa memberi penjelasan. Duh….
“Tapi salahku apa dong, aku kan bingung juga. Aku kan cuman iseng bilang minta maaf.”
Ah bodoh amat. Aku gak mau pusing mikirin dia lagi. Kali ini aku mulai berprasangka baik terhadap Mahesti.
“Mahes, kamu benar. Cowok seperti Panji tak bisa dibanggakan jadi idola,” gumamku, sambil menerawang kata kata sahabatku itu.
Selanjutnya berbulan-bulan sunyi senyap. WA pun nihil. Gak ada kontak, sama sekali. Saking lamanya situasi ini, nyaris membuatku lupa. Kalau aku punya teman, bernama Panji Asmoro, hee
Suatu sore saat sedang santai, aku iseng mengirim kabar. Seperti biasa, hanya melalui WhatsApp.
“Sore Nji, bagaimana kabarnya?” sapaku berharap.
Di luar dugaan, dia merespon pesan WhatsApp ku.
“Sore juga Kinara, aku baik-baik saja.
Gimana denganmu, lagi sibuk apa?”
Bagai aspal tersiram hujan. Adem rasanya membaca balasan Panji. Hingga larut malam, aku dan Panji hanyut dalam obrolan panjang.
Kami banyak sharing, cerita-cerita. Ya macam-macamlah topiknya. Malam itu dia jadi orang yang sangat menyenangkan.
Dalam obrolan itu, ada hal yang membuat aku tersentak kaget, plus perasaan berbunga bunga. Panji bilang, kalau besuk mau ke rumahku.
“Kamu gak lagi mimpi kan, Nji?” tanyaku.
“Ya enggaklah, lha ini aku belum tidur,” jawabnya sambil ketawa.
“Orang ini kok aneh ya. Tumben. Ah, paling dia hanya iseng aja,” batinku
Esuknya, pagi-pagi ternyata dia sudah WA.
“Pagi Kinara, entar sore tunggu ya. Aku jemput, kita jalan-jalan,” ujarnya menawarkan.
“Hahh, serius nih, Nji?” tanyaku.
“Ya iyalah, pokoknya kamu siap aja. Sepulang meeting dengan klien, aku jemput kamu,” katanya tegas.
Panji ternyata seorang pengacara, selain pebisnis. Meski tampan dan awesome, dia low profile banget lho.
“Okey deh,” jawabku setengah gak percaya, setengah penasaran.
“Apa dia lagi mengigau ya, atau mimpi apa gitu. Ahh, entahlah,” pikirku sembari membereskan isi tasku.
Sepulang kantor aku langsung mandi. Bergegas dandan. Biar keliatan cantik
gitu. Kupilih-pilih baju yang cocok dengan hatiku yang lagi berbunga-bunga, heee.
“Elu, mau kemana Ki, buru-buru amat,” tanya kakakku heran.
Di rumah, aku cuma berdua sama kakak perempuanku, kak Klara. Kami empat bersaudara, dua cowok. Aku anak bungsu.
Dua kakak laki-lakiku tinggal di Kalimantan. Sudah lima tahun mereka bekerja sebagai karyawan perusahaan di sana. Sedangkan orangtuaku, tinggal di kampung halaman, tanah kelahiranku, di kota Magetan.
“Aku mau jalan sama Panji, ntar dia jemput kesini,” jawabku sambil benahi alisku.
Kepada kakakku yang sabar dan cantik, aku ceritakan, aku punya cowok bernama Panji. Dan kebetulan, sore itu Panji sengaja datang menjemputku untuk jalan – jalan.
“Oohh, ya deh, salam buat Panji ya,” kata kakakku sembari berbalik ke kamarnya.
Kak Klara seakan memahami perasaanku. Ia sengaja menjauh kala Panji menuju rumahku.
“Iyaa kak, ntar aku sampaikan,” sahutku bersukaria.
Sudah jam empat kurang lima menit. Hatiku kenapa berdebar-debar ya? Rasanya gimana gitu. Ada seneng, ada deg-degan. Nervous banget.
Segera kupejamkan mata. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatiku.
Tepat jam empat, handphoneku berdering.
“Halo Kinara, aku sudah di depan rumahmu,” kata Panji, menepati janji.
Panji mengikuti petunjuk mesin pintar Google MAP. Maklum belum pernah sekali pun, bertandan ke rumahku yang beralamat di Jalan Wijaya Kusuma.
“Iyaaa, tunggu, Nji,” sahutku buru-buru.
Aku keluar, Panji sudah menungguku dengan Xtrail putihnya.
“Keren juga nih cowok,” pikirku.
Tanpa membuang waktu, aku dan Panji melaju, menyusuri kota. Baru kali ini aku lihat dia cool banget.
“Kemana aja penglihatanku, selama ini? Kok aku baru nyadar ya?” tanyaku, pada diriku sendiri.
Sepanjang jalan, diiringi musik, Sepanjang Jalan Kenangan, ciptaan A. Riyanto. Aku sama Panji ngobrol terus. Topiknya macam-macam. Politik, ekonomi, sosial, budaya. Sok-sok ngertilah gitu, heee
Tapi jujur, perasaanku berdebar-debar, kala aku melirik wajahnya.
Meski sambil ngobrol, dia menyetir penuh konsentrasi. Ada satu hal, Panji memiliki wawasan cukup luas. Selama ini jaim sih. Baru sekarang kelihatan pintarnya.
Sepertinya dia juga punya empati yang bagus lho. Aku makin jatuh hati deh.
Panji menggenggam tanganku. Oh My God!! Aku makin deg-degan. Aku hanya meliriknya sembari melempar senyum. Menutupi sikapku yang salah tingkah.
“Aku suka kamu, Kinara. Sejak ketemu pertama kali,” katanya sambil memandangku sekejap. Karena ia harus fokus melihat jalan aspal yang lagi ramai.
“Kenapa suka, Nji, aku biasa-biasa aja, gak ada yang istimewa,” sahutku sambil mengalihkan mataku pada pohon-pohon di tepi jalan.
“Nggak tahu ya, aku juga gak ngerti alasannya. Aku suka banget sama kamu.”
“Dari dulu sih, tapi mau bilang gak berani, takut ditolak,” jawabnya, sambil melirikku.
Aku hanya diam, membisu seribu bahasa. Suasana jadi sunyi. Masih digenggamnya tanganku. Lembut banget, terasa sampai ke hati. Ehm, rasanya gimana gitu.
Panji menghentikan roda Xtrailnya di pelataran resto yang luas dan sejuk. Pohon cemara tampak anggun menghias setiap sisi resto itu. Belum lagi aneka bunga yang bermekaran. Mulai dari pintu masuk hingga pelataran.
“Hmmm, amat menawan,” batinku, mengagumi penataan tempat ini.
“Kinara, kita turun yuk,” Panji mengagetkanku.
“Ohhh, iya, iyaa,” sahutku sambil membuka pintu mobil.
Panji menggandeng tanganku. Roman banget. Kebetulan saat itu sepi, tak ada pengunjung satu pun. Seakan -akan, kursi-kursi itu sengaja disiapkan hanya untuk kami berdua.
“Hmm, privasi bangeett.”
“Mau duduk di mana, Say?” tanya Panji.
“Di situ aja deh, yang dekat kolam,” jawabku, menuju kursi yang tampak romantis itu.
Aku menarik kursi berbahan rotan itu.
“Iya, duduk di situ aja Say, biar bisa
lihat pemandangan di sana,” kata Panji, lalu dia juga menarik kursinya.
Duduk berduaan penuh romantisme. Ikan – ikan di kolam nan asri itu melonjak ke sana-ke sini. Gemercik air membasahi baju warna pink yang kukenakan.
Tahu aku basah, Panji secara spontan mengelap bajuku dengan tissue. Perasaanku kian berdesir, disentuh tangannya.
Suasana seketika menjadi bisu, sepertinya bingung, mau bicara apa. Aku berusaha mencuri pandang, mudah-mudahan gak ketahuan.
“Kenapa rasanya aku begitu dekat dengan Panji ya?” tanyaku pada diriku sendiri.
Panji masih diam, entah apa yang dipikirkannya. Sementara aku, sibuk mengamati view di sekitar resto..
“Amazing, beautiful banget.”
Rupanya Panji mengamati keherananku.
“Baru pertama kemari?” tanyanya padaku, aku hanya mengangguk.
Tak lama kemudian, pelayan resto yang cantik datang membawa list menu.
“Selamat sore, silahkan pilih menu, Kak,” pintanya dengan sopan dan ramah.
Ku bolak balik buku menu itu, tapi gak tahu juga mau pilih apa. Ya ya ya, pikiranku gak fokus ke daftar makanan.
“Mau makan apa, Say? Pilih aja yang kamu suka,” kata Panji santai.
“Ehmm, aku gak tahu mau makan apa, ngikut kamu aja deh, Nji,” kataku sambil menyodorkan kertas bertuliskan deretan menu pada Panji.
Dibukanya lembar demi lembar. Kesempatan aku curi pandang lagi.
“Gimana kalau salad buah?” tanya Panji.
“Okey, deh,” jawabku.
“Mau minum apa?” tanya Panji lagi.
“Coklat panas sama air putih aja,” jawabku pasti.
“Ok, aku teh tawar panas,” kata Panji.
Sambil menunggu pesanan datang, Panji banyak bercerita, tentang masa kecilnya dan masa sekolah sewaktu di kampung. Juga bisnisnya yang pernah jatuh bangun. Teman-teman kerjanya, yang membuatnya bangkrut. Ya macam-macamlah. Aku dengarkan dengan seksama. Salut juga aku sama dia. Luar biasa.
“Kamu hebat ya, Nji, punya mental setangguh itu,” kataku penuh rasa kagum.
“Ya memang harus begitu, Say. Kalo jatuh harus segera bangkit, jatuh lagi, ya move on lagi.”
“Nanti kuajarkan deh, kalau kamu mau bisnis,” katanya menimpali pujianku.
Pesenan sudah siap di meja. Aku makan perlahan dan lama. Itu kebiasaanku kalau makan. Kebiasaan ini kadang membuat Kak Klara acapkali memarahiku, makan sangat lama. Ku kunyah sampai halus, kayak mesin penggilingan, heee
Sambil makan, aku sama Panji ngobrol terus. Topiknya berganti ganti. Ada yang bernuansa politik, seperti pemilu, hingga topik yang rileks alias santai.
Dalam obrolan itu, Panji sering menancapkan tatapan matanya yang membuat hatiku berdebar. Deg-degan. Tiba-tiba perasaanku berbeda. Ada sesuatu yang menggetarkan hatiku.
“Aku merasa sayang dan dekat dengannya.”
“Duh Gusti, perasaan apa ini. Apakah aku jatuh cinta?” hatiku berkecamuk.
“Hei sayang, kok melamun?” panji
mengagetkan aku.
“Eeeeng.., enggak kok, akuu, aku, lagi liat air di kolam itu looh, baguus..,” jawabku tersipu menutupi perasaanku.
“Ohhh…,” kata Panji, entah tahu apa gak keresahanku
“Makannya, gak dihabisin?” tanya Panji lagi, sambil melirik piringku, yang masih tersisa selada.
“Sudah kenyang, Nji,” jawabku.
“Aku kurang suka selada mentah.”
Sekitar satu jam aku berdua dengan Panji di dalam resto yang memiliki view sangat mewah, menurutku. Panji lantas menyelaku agar segera beranjak dari restoran. Sambil bergegas menuju kasir, dia menawarkan untuk jalan – jalan.
“Kita jalan lagi yuk?” pinta Panji seraya berdiri dan menyambar tasnya.
“Siap bos, aku juga kepingin jalan-jalan,” jawabku tegas, sembari kulempar senyum padanya.
Kali ini aku berani menyapa dia bos. Sebab antara aku dan dia sudah layaknya seperti sepasang kekasih. Meski baru sekali ini bertemu, sejak perkenalanku dengannya dua bulan lalu.
“Hari ini momen terindah bagiku,” kataku membatin.
Seraya menanti Panji di meja kasir, aku memilih menunggu di luar, sambil mengamati tanaman di sekitar resto. Lebih-lebih tanaman bunga berwarna warni.
“Bagus ya, bunganya?” Panji memegang bahuku dari belakang.
“Duuhh, bikin kaget aja,” kataku setengah membentak, sambil menoleh ke arahnya.
Lalu kami tertawa bersama. Begitu akrab dan hangat.
Aku dan Panji menyusuri jalan setapak, menuju villa. Panji menggandengku. Aku merapatkan lenganku. Di sepanjang jalan, pucuk-pucuk cemara menari-nari mengibas sunyi. Seakan turut gembira melihatku dan Panji, yang lagi kasmaran.
“Nji, lihat cemara-cemara itu,” kataku mengarahkan pandangannya, untuk menoleh ke sisi kanan jalan.
“Cemara yang indah,” kata Panji, sembari membelai rambutku, yang terurai menutupi wajahku.
Kakiku telah menjauh dari resto, namun perasaanku seperti tali jangkar kapal. Menancap begitu kuat di resto milik Bu Sripangesti.
Ya, sebuah kesan romantisme pertamaku, bersama Panji
Malam ini angin membelaiku. Mengecup mesra di antara pucuk cemara. Entah ia akan tetap memelukku atau akan lenyap. Pergi, tanpa permisi. Tanpa bisa kupeluk atau kugenggam sekejap saja.
Bersambung