JAKARTA, KILAS24.COM — Mantan Ketua BPK Hadi Poernomo mendapatkan rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas disertasi tentang perpajakan.
Hadi Poernomo mendapatkan piagam penghargaan MURI sebegai doktor hukum pertama yang melakukan uji publik disertasi yang dihadiri oleh lebih dari 1.500 peserta sebelum sidang terbuka.
Piagam tersebut diberikan saat wisuda S3 di UPH, Karawaci, Tangerang, Banten, Rabu (15/6). Dalam wisuda tersebut, Hadi didapuk sebagai lulusan terbaik doktor hukum dengan predikat summa cum laude, dengan disertasi berjudul “Eksistensi SIN Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi”.
Hadi menerangkan Single Indentity Number (SIN) tidak hanya dipandang menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai penerimaan pajak yang optimal, tetapi juga mampu menjadi sebuah cara pencegahan tindak pidana korupsi.
“Hasilnya, tax ratio akan naik. Penerimaan pajak yang tinggi ini bisa digunakan untuk membayar semua utang negara. Jadi SIN ini bisa menyelesaikan SUN, semua utang negara,” kata Hadi.
Baca Juga: Menko Airlangga: Rp55,85 Triliun Sudah Cair untuk Bansos PKH, BLT, Kartu Sembako dan lainnya
Hadi mengingat ketika menjabat sebagai Dirjen Pajak, saat itu, secara perlahan tapi pasti, penerimaan pajak meningkat. Pada 2005 misalnya, tax ratio tercatat menyentuh level 12,7 persen.
Saat itu, katanya, pemerintah mulai melakukan reformasi perpajakan dengan menjalankan program integrasi data dalam sebuah single SIN pajak melalui nota kesepahaman (MoU) ke berbagai instansi baik instansi pemerintah maupun swasta.
Kebutuhan nomor tunggal sebagai alat penyatu data dalam sebenarnya telah disadari oleh Pemerintah dengan mengusulkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengamanatkan nomor tunggal antara Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun, upaya itu belum cukup. Alasan, DJP hanya menjadi penerima data dan tidak berperan sebagai pemegang utama akses data NIK. Padahal DJP sudah mempunyai kewenangan atributif karena sifat rahasia data pajak.
Menurutnya, upaya pemerintah saat ini bukanlah kebijakan baru. Penyatuan data sudah dimulai melalui dengan UU No.19/2001 dan kemudian dilanjutkan dalam Pasal 35A UU No.28/2007 tentang KUP.
“Hasil penelitian disertasi menunjukkan aturan pelaksanaan UU tersebut yang tertuang dalam PP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mencerminkan adanya ketidakkonsistenan. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan utama dalam lahirnya SIN Pajak,” paparnya.
Baca Juga: Rayakan Dies Natalis ke-25, UPH Terima Penghargaan Rekor MURI
SIN kembali dihidupkan pemerintah demi penerimaan pajak yang optimal dan tax ratio kembali pada level dua digit. Integrasi NIK dan NPWP, katanya, tidak cukup untuk mengungkit penerimaan pajak.
Pemerintah, khususnya Kemenkeu perlu melihat kembali aturan turunan UU KUP khususnya tentag akses data bagi DJP. Hadi menyatakan DJP wajib memiliki akses kepada data pihak ketiga seperti yang diatur dengan tegas pada Pasal 35A UU KUP.
“Pemerintah yang menginginkan adanya uji kepatuhan dengan menggunakan aliran data, sebaiknya Kementerian Keuangan segera berinisiatif untukmelakukan government review,” ungkapnya.