JAKARTA, Kilas24.com — Banyak tenaga honorer sulit menjadi ASN atau PNS karena terkendala usia. Pasalnya, batasan usia untuk pengangkatan CPNS ialah maksimal usia 35 tahun.
Hal itu disampaikan, Anggota Komisi II DPR Hugua. Menurutnya, saat ini tidak ada solusi bagi tenaga honorer K2 yang berusia di atas 40 tahun untuk menjadi PNS.
Alasannya, menurut PP Manajemen PNS, salah satu syarat pengangkatan CPNS yakni batasan usia maksimal 35 tahun. Di sisi lain, honorer 35 tahun ke atas bisa mengikuti seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Namun, Seleksi PPPK 2021 baru dibuka untuk tenaga pendidik saja. Dia mencontohkan yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana banyak tenaga honorer yang mayoritas berusia di atas 35 tahun.
Baca Juga: CPNS 2021: Butuh 1,27 Juta PNS, Ini Komposisi Per Kementerian, Provinsi & Kabupaten/Kota
Dia menyebutkan pengangkatan PNS saat ini lewat seleksi yang terbuka sekali. Hal yang menjadi dilema ialah terkait tenaga honorer K2, di mana mayoritas sudah berusia diatas 35 tahun, praktis sudah tidak ada jalannya.
“Jalan satu-satunya tinggal revisi UU ASN. Sampai saat ini bagi honorer K2 ini solusinya tidak ada, kecuali mereka tetap outsourcing,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu (14/4/2021).
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Hugua menjelaskan, hanya ada dua kategori ASN yakni PNS dan PPPK.
Maka, semua tenaga honorer yang terdapat di kementerian dan pemerintahan daerah bersifat outsourcing yang bergantung pada kebutuhan masing-masing instansi.
Pada Pasal 99 ayat 2 UU ASN menyebutkan, untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Politisi PDI-Perjuangan itu mengatakan, permasalahan honorer K2 menjadi permasalahan semua pihak. Dia memperkirakan jumlah tenaga honorer K2 di seluruh Indonesia mencapai angka sekitar 400.000 orang.
Baca Juga: Siapkan 5 Dokumen Ini Untuk Pendaftaran Calon ASN 2021
Untuk itu, Komisi II sendiri sebenarnya telah meminta pemerintah untuk melakukan revisi UU ASN. Hingga saat ini, proses revisi masih dalam pembahasan dan Komisi II telah membuat panitia kerja (Panja) UU ASN.
Namun, pemerintah baru menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU ASN kepada DPR RI, 8 April lalu. DIM dari pemerintah itu akan dipelajari dan dibahas karena sudah masuk Prolegnas 2021.
“Masalah honorer ini masalah kita semua, sebetulnya mereka ini korban banget, karena teman-temannya sudah diangkat, tetapi karena terbentur UU 5/2014 yang mewajibkan untuk menjadi ASN harus melalui proses seleksi. Itu kan mereka masih terkendala umur.”
Dia menyebutkan jumlah K1 dan K2 di seluruh Indonesia masih puluhan ribu, sementara di NTB ada 16.000 ribu. Total honorer K2 se-Indonesia mencapai kurang lebih 400.000 orang, dan pemerintah harus mencari solusi.
Untuk anggaran, Hugua menjelaskan sesuai aturan yang berlaku, PPPK dibebankan pada APBD. Khusus untuk PPPK Guru, dia memprediksi bahwa Kementerian Keuangan nantinya akan mengalokasikan melalui APBD masing-masing sesuai kuota yang diajukan pemerintah daerah, yang nantinya akan ditransfer ke daerah untuk meng-cover biaya pendaftaran dan biaya gaji.
Sayangnya, honorer non-guru masih belum jelas sampai saat ini. Dia optimistis akan adanya rekrutmen 1 juta guru PPPK. Namun, untuk tenaga kesehatan, tenaga administrasi, dan non-guru lainnya masih harus berjuang keras, apalagi masih dalam situasi pandemi seperti sekarang ini.
“Di daerah-daerah seperti di Indonesia bagian timur, tenaga honorer non-guru juga tidak kalah pentingnya, karena banyak pemekaran baru yang bekerja di kantor kecamatan, puskesmas, desa-desa, itu operasionalnya oleh tenaga honorer K2. Jadi semuanya prioritas,” imbuhnya.
Sekadar catatan, istilah tenaga honorer kategori 1 (K1) dan kategori 2 (K2) bermula pada tahun 2005. Di mana, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, dilakukan pendataan untuk tenaga honorer.
Dari hasil pendataan tersebut, barulah pegawai honorer yang disebut K1 yakni tenaga honorer yang mendapatkan gaji dari dana APBD/APBN, sedangkan honorer K2 mendapatkan gaji dari non APBD/APBN atau digaji dari dana komite dan dana bos.