Oleh: Petrus Selestinus, SH
Temuan Komisi Intelijen Daerah (Kominda) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ketua GP Ansor NTT, bahwa HTI di NTT, khususnya di Kota Kupang, masih terus melakukan akitivitas penyebaran ideologi khilafah jangan dianggap sepele.
Polda NTT selaku institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan secara hukum berdasarkan UU RI No.16/ Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu No. 2/ Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU RI No. 17/ Tahun 2013 tentang Ormas Menjadi Undang-undang, harus bertindak tegas.
Landasan hukum penindakan adalah Pasal 59 juncto (jo) Pasal 60, ayat (2) jo Pasal 82A UU RI No.16/Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu No. 2/ Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17/ Tahun 2013 tentang Ormas Menjadi UU.
Landasan hukum tersebut telah cukup memberi landasan kuat bagi polisi untuk bertindak atau melakukan tindakan kepolisian terhadap oknum mahasiswa, ASN dan anggota/pengurus HTI yang masih melakukan aktivitas penyebaran ideologi khilafah di Kupang, NTT dengan kemasan dakwah atau ceramah agama.
Kominda NTT dan GP Ansor NTT telah mengungkap fakta adanya aktivitas HTI di Kupang NTT berdasarkan profesi sebagai PNS di lingkup Pemerintah Provinsi NTT, di dinas-dinas Pemerintah Kota Kupang, mahasiswa, dan di kalangan guru.
Membiarkan aktivitas HTI di Kupang, jelas merupakan kesalahan besar pemerintah, karena bagaimanapun HTI sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang, karena sering berdakwah dengan konten yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Mengapa Polda NTT masih diam bahkan membiarkan?
Pernyataan anggota Kominda NTT, Raditto kepada wartawan di Kupang, bahwa HTI di NTT masih aktif dan kebanyakan anggotanya berada di Kota Kupang, rata-rata mereka adalah anggota dan pengurus yang berasal dari alumni kampus-kampus besar di NTT. Hal tersebut merupakan potret nyata betapa upaya sistematis HTI agar ideologi khilafah mudah terpapar di kalangan mahasiswa, di kalangan ASN, di lingkungan Pemprov NTT dan Kota Kupang dibiarkan terus berlangsung.
*Perlu Tindakan Polisi*
Kominda NTT sendiri terdiri atas Kesbangpol Provinsi NTT, intelejen kepolisian, BIN, Kodim, Korem, TNI dan berbagai elemen terkait yang menjalankan fungsi intelejen, termasuk mengawasi pergerakan HTI di NTT. Sehingga seharusnya temuan Kominda NTT tentang aktivitas HTI di Kupang merupakan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara hukum. Sehubungan dengan hal itu perlu segera dilakukan penindakan.
Pertanyaannya, mengapa temuan Kominda NTT tentang kegiatan khilafah di NTT tidak ditingkatkan ke proses penindakan secara pidana yang diawali dengan laporan polisi ke Polda NTT?
Mengapa Kominda NTT hanya melempar isu aktivitas HTI di NTT kepada publik melalui release (siaran pers) ke media massa tanpa langkah-langkah melaporkan ke Polda NTT untuk ditindak? Apakah Kominda butuh dukungan publik untuk menindak HTI di NTT lalu timbul kegaduhan?
Padahal, Kominda NTT telah mengungkap fakta-fakta dan mengidentifikasi aktivitas HTI di Kupang. Mulai dari proses perekrutan untuk masuk menjadi anggota, mendoktrin anggota yang baru masuk, sampai benar-benar menguasai prinsip-prinsip khilafah, barulah bisa masuk jadi pengurus.
Hal tersebut dimulai dari aktivitas 10 sampai 15 mahasiswa yang direkrut pasca-HTI dibubarkan, terus melakukan aktivitas dakwah dengan pola penyebaran ajaran secara “person to person”. Mendoktrinasi anggota baru tentang sistem khilafah dengan Islam sebagai ideologi negara.
Peran deradikalisasi melalui pemberian pemahaman yang benar kepada tokoh-tokoh HTI NTT, tidak dapat diharapkan hasilnya kelak, karena HTI telah menanamkan ideologi khilafah kepada pengikutnya sudah sangat dalam.
Itulah sebabnya langkah pemidanaan sebagai prioritas, karena UU RI No. 16/ Tahun 2017 tentang Ormas telah memberikan payung hukum yang efektif untuk dilakukan tindakan kepolisian. Jangan membuang waktu dan biaya dengan metode deradikalisasi
Penindakan secara pidana adalah salah satu langkah tepat yang diperlukan, agar paham radikal tidak terus menyebar di lingkungan kampus/universitas, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Kupang. Bahkan di kabupaten lain di NTT.
Prinsip di mana ideologi itu harus dilawan dengan ideologi, doktrin harus dilawan dengan doktrin dikesampingkan dahulu, justru peran besar penegakan hukum jadi solusi utama. Jangan biarkan sampai masyarakat NTT bertindak sendiri. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus, SH adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), pengacara anggota Peradi. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.