Petrus Selestinus
Peristiwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum anggota Polres Mabar terhadap sekelompok anak muda (Edo Mense dkk) di Labuhan Bajo, 11 April 2020, “berbuntut”. Perwakilan Polres Mabar pada 13 April 2020 malam, secara adat mendatangi keluarga korban (Edo Menso), di tengah proses hukum yang sedang berjalan.
Kedatangan perwakilan Polres Mabar dengan membawa simbol-simbol adat Manggarai Barat terkait peristiwa kekerasan fisik terhadap Edo Menso dkk., tentu mengagetkan semua pihak. Pasalnya, hal ihwal demikian jarang terjadi. Ini bukti pengakuan dan penghormatan aparat penegak hukum terhadap budaya di mana mereka berpijak.
Selaku praktisi hukum, ini sesuatu yang “surprise” dan jangan dipandang sebagai hal negatif, karena Polri di dalam menjalankan tugasnya pun oleh KUHAP diwajibkan menjunjung tinggi hukum yang belaku. Termasuk hukum adat di mana dia berpijak.
Pepatah lama mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Ini yang terjadi
Budaya Hukum
Terlepas dari urgensi dan relevansinya dengan persoalan kekerasan fisik yang dialami Edo Mense dkk yang perkaranya sedang ditangani Polres Mabar, namun satu hal yang perlu digarisbawahi adalah sikap Kapolres Manggarai Barat memilih pendekatan secara budaya kepada pihak korban. Hal itu sebagai suatu sikap yang sudah lama nyaris terdengar.
Ada dua pendekatan sekaligus yang hendak diterobos oleh Kapolres Mabar, yaitu secara hukum nasional memproses hukum anak buahnya dan secara kultur atau adat Manggarai, ia mengutus perwakilannya datang untuk meminta penyelesaian secara adat dan minta maaf.
Dua-dua pendekatan tersebut memiliki landasan konstitusional, dan pada pendekatan budaya ini kita mengapresiasi AKBP Handoyo Santoso, terlepas dari pendekatan ini diterima atau tidak. Namun satu hal yang pasti adalah AKBP Handoyo Santoso sudah mulai membangun sebuah budaya hukum dan mencoba mengangkat lambaga adat terlibat dalam penyelesaian masalah.
Publik tidak boleh menaruh curiga terhadap model pendekatan Polres Mabar yang mendatangi kekuarga korban penganiayaan, menyusul langkah pihak korban yang sebelumnya telah membawa kasus ini ke jalur hukum. Hal ini karena sikap membangun budaya hukum pun menjadi tugas Polri dalam rangka menjunjung tinggi tradisi hukum adat.
Budaya Mendengar
Budaya untuk saling mendengarkan di Rumah Gendang, itulah forum yang terhormat. Apalagi inisiatif penyelesaian adat ini datang dari institusi hukum negara, (Polres Mabar).
Hal ini sebuah aksi langka dan “diterobos” oleh AKBP Handoyo Santoso, yang tidak terduga dan mengharukan. Sebenarnya di Rumah Gendang itulah ada kesetaraan, karena dimediasi oleh para Tua Golo.
Di Rumah Gendang Inilah kedua belah pihak duduk dalam kesetaraan, saling mendengarkan, terbuka, tidak ada BAP, tidak ada transaksi di lorong gelap, tidak ada suap apalagi pemerasan.
Hal ini adalah bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak tradidionalnya yang dimulai dari kasus ini.
Meski proses mediasi berakhir tanpa ada kesepakatan, pihak Polres Mabar jangan berkecil hati atau putus asa, karena adat itu rumit, adat itu butuh kesabaran dan jiwa besar. Apalagi dimensi kasus Edo Mense dkk menyangkut kepentingan komunitas besar masyarakat Mabar, karena itu proses pidana atas Laporan Polisi pihak korban harus jalan terus dan mari kita kawal. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan advokat anggota PERADI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.