Oleh: Petrus Selestinus, SH
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) selaku penyidik dan penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor) pembangunan proyek NTT Fair, telah menuntut terdakwa Yulia Afra dkk karena diduga telah melakukan tipikor dalam pembangunan NTT Fair. Dalam kasus ini majelis hakim telah menjatuhkan vonis dengan pidana penjara lima tahun, pada persidangan 21 Januari 2020.
Berdasarkan keterangan saksi dan terdakwa Yulia Afra di dalam BAP Penyidikan, terungkap fakta aliran dana sebagai gratifikasi yang diberikan oleh Yulia Afra kepada Frans Lebu Raya ketika masih menjabat sebagsi Gubernur NTT dalam jumlah sebesar Rp 586 juta. Fakta-fakta itu kemudian diungkap kembali dalam persidangan terdakwa Yulia Afra dkk.
Fakta berupa keterangan tersangka atau terdakwa dan saksi, bahwa ada sejumlah uang sebagai gratifikasi yang diberikan oleh Yulia Afra kepada mantan Gubernur NTT Frans Lebu Raya terkait proyek pembangunan NTT Fair, bukanlah informasi yang baru terungkap dalam persidangan, melainkan fakta lama yang diperoleh jaksa sejak penyidikan di Kejati NTT berlangsung.
*Tidak Ada Bukti*
Pertanyannya mengapa ketika penyidikan atas tipikor terhadap Yulia Afra dkk pihak Kejati NTT tidak menjadikan Frans Lebu Raya dkk sebagai tersangka dalam satu rangkaian perkara yang displit, mengingat sejak awal penyidikan fakta gratifikasi ini disebut-sebut berupa uang yang diberikan kepada Frans Lebu Raya. Tanpa bukti pendukung apa pun, selain keterangan saksi dan tersangka.
Kejaksaan mesti melihat, bahwa dalam berbagai putusan perkara pidana korupsi, termasuk di NTT, hakim menyebutkan bahwa dari pemeriksaan persidangan diperoleh fakta-fakta tentang gratifikasi atau tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan si A, B, C dan seterusnya. Namun tidak ada satu pun nama yang disebut menerima gratifikasi atau bersama-sama melakukan korupsi itu kemudian dituntut lebih lanjut oleh jaksa.
Mengapa? Karena selain tidak didukung alat bukti lain, kecuali hanya petunjuk sumir, juga petunjuk sumir itulah digunakan oleh najelis hakim untuk memperkuat keyakinan hakim bahwa terdakwa Yulia Afra dkk terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan okeh karena itu terdakwa Yulia Afra dihukum. Jadi bukan untuk menjadikan Saksi Frans Lebu Raya kemudian menjadi terdakwa.
*Sumpah Palsu*
Majelis hakim lebih yakin pada keterangan terdakwa Yulia Afra dan saksi lainnya, tetapi majelis hakim juga menerima dan percaya kepada penyangkalan Frans Lebu Raya. Intinya, bahwa tidak pernah menerima uang dari tedakwa Yulia Afra, sebagaimana terbukti dari tidak adanya persangkaan dari majelis hakim bahwa saksi Frans Lebu Raya telah memberi keterangan palsu di dalam persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 242 KUHP.
Begitu pula majelis hakim tidak pernah memberi peringatan kepada saksi Frans Lebu Raya untuk bersaksi jujur seraya memberitahu Frans Lebu Raya bahwa ada ancaman pidana jika saksi memberikan keterangan palsu (Pasal 174 KUHAP, jo. Pasal 22 jo. Pasal 35, Undang-Undang No. 20/ Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor), guna mendapatkan kebenaran materiil.
Kenyataannya, majelis hakim tidak memberi penilaian apakah Frans Lebu Raya telah memberi keterangan palsu, juga tidak memberi peringatan akan adanya ancaman pidana jika saksi memberi keterangan palsu.
Dengan demikian, maka kesimpulan majelis hakim bahwa Frans Lebu Raya menerima gratifikasi menjadi bukti “petunjuk”, merupakan kesimpulan yang kontradiktif, inkonsisten dan ambigu.
Kejatii NTT tidak perlu merespons kesimpulan kontrapoduktif dan ambigu dari majelis hakim dan mengekspose ke publik seakan-akan petunjuk sumir itu menjadi senjata pamungkas untuk menjadikan Frans Lebu Raya sebagai tersangka.
Hal tersebut adalah bagian dari teror melalui “framing media” bahwa Frans Lebu Raya akan dijadikan tersangka berdasarkan petunjuk dalam putusan hakim a/n.terdakwa Yulia Afra.
Padahal, Pasal 5 dan Oasal 7 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa penyelidik atau penyidik karena kewajibannya, berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Artinya, “tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan; tindakan itu haus patut dan masuk akal atas pertimbangan yang layak dan menghormati hak asasi manusia”. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus adalah Koodinator TPDI dan advokat anggota Peradi. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.