Polisi yang humanis dan promoter (profesional, modern dan terpercaya) adalah polisi yang tampil sederhana, murah senyum, ramah, namun tetap tegas, tepat, cepat dalam bertindak. Polisi berkarakter demikian itu tetap menjunjung tinggi hukum, hak asasi manusia (HAM) dan berbudaya.
Namun apa lacur, perilaku oknum aparat polisi yang melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah menodai misi Presiden Jokowi melahirkan polisi yang mengayomi rakyat.
Perbuatan tidak terpuji itu dilakukan oknum
Brigpol PA dan beberapa anggota terhadap Oswin Goleng, aktivis PMKRI di Kupang. Peristiwa itu Sabtu, 19 Januari 2020. Kekerasan fisik tersebut jauh dari “produk” polisi humanis dan promoter. Apalagi peristiwa kekerasan terhadap aktivis PMKRI di NTT itu sudah berulang kali terjadi.
Perlakuan oknum polisi di NTT terhadap mahasiswa dengan pendekatan tangan besi, pertanda bahwa program pimpinan Polri melahirkan polisi humanis dan promoter di NTT gagal total. Pada sosok oknum polisi NTT seakan-akan masih ditanamkan sikap dendam kusumat, ketika berhadapan dengan aktivis PMKRI di lapangan. Sedikit saja terjadi gesekan antara aktivis PMKRI dengan oknum polisi, selalu berujung dengan penganiayaan.
Jika kita membuka catatan tentang peristiwa pemukulan yang dilakukan oknum polisi terhadap aktivis PMKRI sebelumnya, dalam lima tahun terakhir peristiwa penganiayaan terhadap aktivis PMKRI di NTT terus terjadi secara sistemik. Sebagai contoh, catatan di bawah ini;
a. Pada 7 Januari 2018 nahasiswa PMKRI Cabang Ruteng mengalami tindak kekerasan dari aparat Kepolisian Manggarai;
b. Pada 9 Desember 2017, bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia, aktivis PMKRI di Ruteng juga dipukul dan dicekik oleh oknum anggota Polres Manggarai;
c. Pada 8 Mei 2016, aktivis PMKRI dipukul oleh oknum polisi saat demo di depan Kantor Bupati Ende;
d. Pada 2 Desember 2014 mahasiswa PMKRI Kupang dianiaya oknum polisi di Marga PMKRI Kupang.
Melihat sederet peristiwa kekerasan yang dialami aktivis PMKRI secara terstruktur dan sistemik oleh oknum polisi, maka apa yang terjadi dengan Adrianus Oswin Goleng, pada 19 Januari 2020 kemarin, patut diduga merupakan “grand design” (skenario besar) kekuatan tertentu di luar institusi polri untuk memperlemah generasi muda NTT dalam jangka panjang; atau masih ada yang salah dalam pola rekrutmen dan penempatan anggota Polri di NTT.
Apa yang terjadi dengan aktivis mahasiswa PMKRI di NTT, di sejumlah tempat polanya sama. Ada peristiwanya tetapi tidak jelas pertanggungjawaban pidana secara transparan bagi oknum polisi yang menganiaya korban. Kita patut menduga ada sebuah kekuatan yang mendesain, dan yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan menghacurkan mental generasi muda terbaik penerus bangsa asal NTT. Hal itu agar mereka menjadi generasi pengecut, kerdil, kehilangan jati diri dan tidak peduli, atau menjadi asosial terhadap lingkungan sosial dan budaya sekitarnya.
Mahasiswa PMKRI adalah kelompok anak muda yang penuh idealisme, sangat peduli terhadap identitas budaya dan lingkungannya. Sehubungan dengan hal itu, kekerasan fisik dan verbal yang sering dihadapkan pada akitivis PMKRI harus dipandang sebagai “grand design” sistimatis. Tujuan “grand design” itu untuk membunuh idealisme, karakter kepemimpinan yang kuat, militan dan konsisten mahasiswa PMKRI dalam gerakan advokasi menuntut perbaikan penegakan hukum, keadilan dan kebenaran.
Sebuah sikap yang sudah langka dimiliki oleh generasi muda kita saat ini, akibat pragmatisme yang melanda sebagaian besar generasi anak bangsa, termasuk menguatnya pragmatisme di internal Polri, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memerangi. Sehingga apa yang terjadi pada Oswin Goleng harus menjadi peristiwa yang terakhir dan tidak boleh lagi terjadi di waktu yang akan datang. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus, SH adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan advokat anggota Peradi. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.