
JAKARTA,KILAS24.COM – Kuasa hukum Jamin Mokodompit dan H. Hadijah, Kurniadi Nur, SH, meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 40 dari PT Donggi Senoro LNG.
Kurniadi Nur juga meminta perusahaan tersebut untuk menyelesaikan tanggunganya atas tanah milik H. Jamin Mokodompit dan H. Hadidja yang telah di tempatinya sejak sebelum melakukan pembayaran.
“Negara kita adalah negara hukum. Seharusnya semua prosedur tentang peralihan hak atas tanah dan pembebasan tanah guna untuk kelancaran investasi, dilaksanakan secara legal dan legitimate,” kata Kurniadi Nur melalui sambungan ponsel, Kamis (27/2).
Sebagai kuasa hukum dalam kasus tersebut, pihaknya mengagendakan untuk melakukan aksi demo. Aksi unjuk rasa itu rencananya akan melibatkan masyarakat, pemuda dan mahasiswa, di depan kantor PT Donggi Senoro dan BPN serta di depan Istana Negara.
“Kami menuntut keadilan atas perampasan tanah milik klien saya,” tandasnya.
Selain aksi turun ke jalan, Kurniadi Nur menegaskan akan tetap mengawal dan menghargai proses hukum yang sedang berproses di pengadilan.
“Kami juga meminta pada Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap gugatan yang di lontarkan kepada kami, yaitu gugatan nomor 87 dan 88 di Pengadilan Negeri Luwuk Banggai,” ujarnya.
Sebelumnya, terjadi aksi massa yang melibatkan ratusan mahasiswa. Massa dimaksud tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Selamatkan Indonesia. Mereka menggelar aksi unjuk rasa di Kantor PT Donggi Senoro LNG, di Jalan Asia Afrika Sentra Senayan II Jakarta dan di Kantor Kementerian ATR/BPN RI di Jakarta.
Massa aksi menuntut keadilan atas terjadinya penyerobotan tanah milik kakek Jamin Mokodompit (70 tahun) yang dilakukan oleh perusahaan tersebut sejak tahun 2011.

Kurniadi Nur mengharapkan pemerintah, dalam hal ini BPN, bersikap adil dalam melakukan kinerjanya. Ia mencontohkan, SHGB No. 40 telah terbit untuk perusahaan tersebut, sementara dasar penggunaan untuk membuat atau menerbitkan SHGB, yakni Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dibuat oleh Bara Laapi adalah surat palsu.
Kuasa hukum tersebut juga menjelaskan bukti-bukti tanah milik kliennya yang dikuasai perusahaan yang bergerak di bidang gas alam cair atau LNG (Liquefied Natural gas). Gas alam yang telah diproses untuk menghilangkan pengotor (impuritas) dan hidrokarbon fraksi berat dan kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekanan atmosfer dengan mendinginkannya sekitar minus 160 derajat celcius.
Adapun bukti kepemilikan atas tanah tersebut berupa sertifikat nomor 03 atas nama Jamin Mokodompit seluas 14. 692 M2, tertanggal 17 Januari 1995. Sertifikat lain atas nama H. Hadidja Momonto seluas 12.051m2.
Selain alat bukti berupa sertifikat hak milik (SHM), masih terdapat bukti otentik lainnya berupa akte jual beli (AJB) juga atas nama dua orang tersebut.
Kasus tersebut bermula dari Bara Laapi yang diberikan tugas untuk menjaga lahan tersebut dengan sengaja menjualnya kepada PT Donggi Senoro LNG.
“Bara Laapi membuat Surat SKPT yang ditandatangani Kepala Desa Uso. Dengan SKPT ini Bara Laapi melakukan pengalihan hak atas tanah dengan cara menjualnya kepada PT Donggi Senoro LNG,” beber Kurniadi Nur.
Ia menambahkan, dalam menjalankan tugas sebagai penjaga kebun (lahan), Bara Laapi dilengkapi dengan surat keterangan untuk menjaga kebun yang berlokasi di Hambola Tua, 4 Januari 1997.
“Sekarang sedang ada gugatan di Pengadilan Negeri Luwuk Banggai,” pungkasnya.
Reporter : Yosef Naiobe