Oleh : Petrus Selestinus, SH,MH
Rencana PT. Singa Merah membangun usaha tambang semen di Kampung Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin menuai resistensi (penolakan) dari banyak pihak.
Resistensi tersebit tidak saja dari masyarakat Manggarai Timur, tetapi juga masyarakat diaspora NTT di Jakarta, lintas profesi (wartawan, advokat, aktivis lingkungan hidup, HAM, bahkan sejumlah politisi DPRD dan DPR RI asal NTT). Mereka menyatakan bersatu mengadvokasi warga korban tambang semen tersebut.
Mengapa resisten, karena peran yang dimainkan oleh Bupati Agas Andreas dalam mempertemukan warga pemilik tanah dengan PT Singa Merah, bukanlah peran mediasi yang akomodatif sebagai pemimpin, tetapi peran yang identik dengan profesi makelar tanah.
Hal tersebut bisa saja terjadi karena faktor serakah untuk mempertebal pundi-pundi dengan sengaja melanggar asas-asas umum pemerintah-an yang baik, demi hobi “nyambi” di luar jam kerja sebagai makelar tanah.
Makelar tanah memang sebuah profesi yang sah dan menjanjikan. Namun jika makelar tanah diperankan oleh seorang bupati, maka inilah yang “disayangkan” oleh banyak pihak.
Pasalnya, karena makelar tanah hanya bicara untung-rugi bagi dirinya. Sedangkan seorang bupati kepala daerah oleh UU diharuskan mendahulukan kemaslahatan warganya dan menjauhkan warganya dari praktik makelar tanah yang menghisap darah dan keringat warga.
*Panitia Pengadaan Tanah*
Sehubungan dengan hal tersebut, mutlak diperlukan panitia pengadaan tanah. Melalui panitia pengadaan tanah itulah praktik makelar tanah bisa dihindari.
Mafia tanah dibatasi ruang geraknya, sehingga warga pemilik tanah dapat merasakan adanya kesetaraan ketika membicarakan hak-haknya secara fair dalam forum mediasi. Dalam kasus ini peran panitia pengadaan tanah nyaris tak terdengar.
Oleh karena itu Bupati Agas Andreas mesti menjelaskan, di mana pemerintah daerah (pemda) berdiri. Apakah pemda sebagai fasilitator atau pemda sebagai oengguna tanah, atau pemda sebagai kepanjangan tangan PT Singa Merah.
Jika pemda sama sekali tidak ada hubungan hukum dengan PT Singa Merah, maka peran “mediasi” yang akomodatif dari pemda mutlak diperlukan demi melindungi warga pemilik tanah dari mafia tanah berdasi.
Namun peran mediasi yang akomodatif menuntut sejumlah syarat, yaitu harus ada keterbukaan, diawasi oleh publik, kolektif kolegial, tidak ada transaksi di lorong gelap, tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sedangkan Agas Andreas disebut-sebut terjun langsung ke lapangan. Bertemu warga, menghasut dan mem-fait accompli warga demi mendukung positioning PT Singa Merah membangun industri semen.
Pada tahap ini banyak pihak curiga dan mempertanyakan, apa gerangan Bupati Agas Andreas turun langsung mengumpulkan warga, dan mem-fait accompli warga pada posisi hanya untuk menyetujui tambang semen? Tanpa ada paparan dari ahli yang independen tentang dampak buruk keberadaan Industri semen bagi penduduk setempat, apa akibat ekonomi bagi warga ketika kehilangan tanah pertaniannya untuk selamanya?
*Hak Angket*
Sehubungan dengan hal itu DPRD Manggarai Timur atau DPRD Provinsi NTT harus membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD.
Memanggil Bupati Agas Andreas dan pihak PT Singa Merah untuk menyelidiki bagaimana pola hubungan hukum antara Pemkab Manggarai Timur dengan PT Singa Merah terbentuk.
Apakah ada unsur KKN? Apakah ada pelanggaran hukum yang berdampak buruk dan menyengsarakan warga masyarakat banyak yang bakal muncul dari sebuah industri semen?
Penggunaan Hak Angket DPRD Manggarai Timur sangat mendesak untuk dilakukan, sebelum terjadi polarisasi antara warga yang pro dan kontra. Sebelum polarisasi antara warga dengan PT Singa Merah. Bahkan, sebelum terjadi polarisasi antara warga dengan Bupati Agas Andreas.
DPRD harus mengeluarkan sebuah rekomendasi agar Bupati Agas Andreas segera menghentikan seluruh aktivitasnya dalam proses jual-beli tanah untuk PT Singa Merah. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus, SH adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan advokat anggota PERADI. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.