JAKARTA, KILAS24.COM – Hari Kopi Nasional diperingati pada tanggal 11 Maret. Hal ini merupakan usulan Dewan Kopi Nasional (Dekopi) pada 2018 lalu.
Dekopi sendiri lahir atas inisiatif Anton Apriyantono dan rekan-rekan. Tujuannya untuk mempopulerkan kopi sebagai komoditas unggulan Indonesia dan mendongkrak industri perkopian.
“Agar masyarakat lebih tahu kopi kita. Kopi kita dikenal dimana-mana di sejumlah negara lain tapi masyarakat kita tidak banyak yang tahu. Malah tahunya kopi impor. Betapa kayanya kopi kita dan dikenal dunia, kenapa kita kurang apresiasi,” kata eks Menteri Pertanian periode 2004-2009 itu.
Atas dasar itu, ditetapkanlah Hari Kopi Nasional pada tangggal 11 Maret. Anton Apriyantono ditunjuk sebagai formatur Ketua Umum DPP Dekopi.
“Dekopi telah dideklarasikan dan formatur akan diumumkan. Saya sudah ditunjuk jadi ketua umumnya,” ujar Anton yang saat ini juga merupakan politisi Partai Keadilan Sejahtera.
Indonesia & Kopi
Indonesia sudah terlanjur dikenal dengan budaya “ngopi” nya. Dan memang merupakan salah satu negara penghasil kopi terbaik dunia.
Sebut saja kopi Bajawa-Flores yang telah melegenda di kalangan pecinta kopi dalam dan luar negeri. Ada juga macam-macam kopi dari Pulau Jawa, kopi Papua, kopi Toraja, kopi Gayo-Aceh, kopi Lampung Dan masih banyak lagi jenis-jenis kopi lainnya turut mengharumkan produk kopi Indonesia.
Tidak heran jika Indonesia tercatat sebagai penghasil kopi terbesar ke-4 dunia. Penghasil kopi terbesar pertama saat ini adalah Brasil, diikuti Vietnam, lalu Kolombia.
Tahun ini (11/03/2022) perayaan Hari Kopi Nasional dimaknai dengan cara unik. Apa dan Bagaimana keunikannya? Simak kilasannya.
Kopi: Oleh dan Untuk Rakyat
Kedai Kopi Klodjen Djaja 1956 di Kabupaten Malang, Jawa Timur punya cara unik memaknai Hari Kopi Nasional. Mereka blusukan sambil membagikan kopi gratis kepada masyarakat (11/03/2022).
Kedai Klodjen Djaja 1956 tahun ini mengusung tema, “Kopi rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Momen ini sekaligus untuk memperkenalkan kopi Arjuno, kopi asli Malang yang berasal dari Kaki Gunung Arjuno.
“agar masyarakat tahu kualitas kopi lokal yang tak kalah dari kopi impor,” kata Didik Sapari selaku Owner Kedai Kopi Klodjen Djaja 1956 ini.
Pedagang-pedagang di Pasar Klojen, para pengunjung serta warga sekitar bisa bersama-sama merasakan nikmatnya kopi asli Malang di momen ini.
Kopi ini disuguhkan langsung oleh para Barista dan tentu saja, “gratis”. Proses penyeduhannya melalui cara manual: tubruk dan filter.
“Senang, kopinya gratis dan enak. Saya tiap hari minum kopi Dampit. Semoga petani kopi lebih sejahtera, kopi Malang ini enak-enak semoga terus dipromosikan” kata salah satu pedagang di pasar Klojen yang turut menikmati kopi asli Malang ini.
Momen ini juga diharapkan bisa membawa dampak positif bagi industri kopi Malang dan para petani kopi di sana.
Kopi Simbol Perlawanan
Kopi rupanya mampu menjelma menjadi simbol perlawanan. Sekelompok seniman melakukan aksi solidaritas kepada masyarakat Desa Wadas yang “sedang melawan” melalui pameran kopi.
Pameran tersebut bertajuk, ”Kepada Tanah, Hidup dan Masa Depan Wadas”. Tema ini terkait perjuangan masyarakat Desa Wadas terhadap proyek tambang Andesit yang mengancam desa mereka.
Tambang Andesit tersebut akan memakan lahan seluas 114 Hektar. Ini menjadi polemik tersendiri, sebab mayoritas masyarakat Desa Wadas hidup sebagai petani.
Berbagai aksi penolakan telah dilakukan. Pada 8 Februari 2022 lalu, ribuan aparat mengepung dan melakukan kekerasan, hingga melakukan penangkapan terhadap warga. Beberapa diantaranya adalah wanita dan anak-anak di bawah umur.
Pameran Kopi ini diadakan beruntun di enam kota: Bali, Batu, Semarang, Bandung, Jakarta dan Yogyakarta (8-28 Februari 2022). Sebanyak 22 Seniman berkolaborasi melalui kemasan berisi bubuk kopi robusta Wadas ukuran 250 gram.
Karya Toni Malakian, misalnya. Toni Mengkreasi wajah petani bernama Mbah Marsono dengan kutipan,”Kita bakal mati tetapi tanah Wadas harus lestari”.
Atau, karya Chrisna Fernand. Kemasan kopi Wadas disulapnya menyerupai beberapa kemasan merk semen populer di Indonesia. Sebuah kritik soal pembangunan di Kendeng, Jawa Tengah yang juga tengah meghadapi penolakan warga.
Farid Stevy, salah satu seniman yang terlibat, menceritakan bagaimana potensi sumber daya di tanah Desa Wadas.
“September 2021 lalu, kami [seniman Jaringan Solidaritas] ke Wadas untuk mural, sekaligus kami ingin dengar cerita dari dari warga langsung. Lalu ternyata di sana potensi alamnya banyak sekali dan diolah dengan baik, salah satunya kopi,” katanya, melalui VICE.
Menurutnya, pameran Kopi Wadas ini adalah bentuk melawan dengan rasa.
“Bayangkan, gimana rasanya punya tanah, punya sejarah, punya mbah buyut, punya ibu, tiba-tiba mau ditukar uang?”
“Ini bukan soal uang, ini soal rasa. Kami melawan, kalau mereka [pemerintah] pakai cara kekerasan, kami melawan dengan cara lembut. Mereka merusak, kami merawat,” tegasnya.
Nantinya, hasil dari penjualan kopi pada pameran ini akan disumbangkan kepada masyarakat Desa Wadas yang tengah berjuang demi tanah masa depan mereka.