Oleh: Petrus Selestinus
Sepekan terakhir nama Harun Masiku menjadi buah bibir. Kader PDI Perjuangan ini pun menjadi “headline” di sejumlah media massa.
Harun Masiku “ngetop” bukan lantaran berprestasi, melainkan menjadi buron KPK. Beragam pertanyaan pun muncul. Ingin menutup aib di tubuh partai berlambang kepala banteng moncong putih atau memang takut dikejar KPK?
Rekam jejak yang bersangkutan pun bukanlah tokoh hebat atau kader terbaik yang harus dipertahankan oleh DPP PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto.
Tengok saja ketika mendaftar sebagai Caleg PDI Perjuangan pada pemilu 2019, ia menempati posisi nomor urut keenam dengan perolehan suara hanya 5.878 suara. Namanya pun tidak banyak yang kenal. Karena itu belum layak dikategorikan sebagai kader Partai PDI Perjuangan.
Berdasarkan penjelasan Ketua Dewan Kehormatan DPP PDI Perjuangan, Komarudin Watubun, Harun Masiku baru masuk menjadi anggota PDI Perjuangan pada saat pencalonan legislatif Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) 1. Sebagai kader baru, tidak banyak yang mengenalnya.
Dengan demikian maka tidak ada urgensi dan alasan yang logis dari aspek kaderisasi, elektoral, pendidikan polotik dan alasan representasi kelompok bagi Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto untuk membela mati-matian mempertahankan Harun Masiku menjadi anggota DPR RI.
*Pentingkah Harun?*
Mengapa Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto harus “mengorbankan” anggota DPR RI, Riezky Aptilia (peringkat kedua), lalu memilih upaya pergantian antar-waktu (PAW) secara “tidak normal” dengan cara uji materil PKPU No. 3/ Tahun 2019, tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara?
Dikatakan upaya “tidak normal”, karena uji materil ini merupakan langkah tidak etis. Pembuatan Peraturan KPU (PKPU) selalu melibatkan konsultasi dengan DPR RI, karena PKPU No. 3/Tahun 2019 itu merupakan Peraturan Pelaksana dari UU RI No. 7/ Tahun 2017 tentang Pemilu yang di bentuk oleh DPR RI, di mana PDI Perjuangan ada di dalamnya.
Secara prosedural dan substantif, penetapan caleg Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih Nazarudin Kiemas dari Dapil Sumsel 1 oleh KPU, karena alasan meninggal dunia, sah menurut hukum. Hal tersebut didasakan pada ketentuan dalam Pasal 426 UU RI No. 7/ Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum: dan Pasal 242, ayat (1), UU RI No. 17/ Tahun 2017 tentang MD3.
Dengan demikian maka dari aspek prosedural dan substantif, Riezky Aprilia yang meraup suara terbanyak kedua, sah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan periode 2019-2024. Kecuali kalau atas alasan melanggar AD/ ART partai atau alasan yuridis lainnya, DPP PDI Perjuangan dapat mem-PAW Riezky Aprilia. Itu pun tidak otomatis jatuh kepada Harun Masiku, karena dia bukan peraih suara terbanyak urutan berikutnya.
*Alasan Yuridis*
DPP PDI Perjuangan memiliki wewenang untuk mengganti Riezky Aprilia melalui mekanisme PAW dengan mengusulkan caleg peraih suara terbanyak berikutnya yang berada di bawah Riezky Aprilia dari dapil yang sama yaitu Sumsel 1, itu berarti bukan Harun Masiku. Pasalnya, Harun Masiku tidak berada pada posisi suara terbanyak berikutnya (ketiga), tepat di bawah perolehan suara anggota DPR RI Riezky Aprilia
Karena tidak terdapat alasan dan pintu masuk bagi DPP PDI Perjuangan untuk mem-PAW Rezkyi Aprilia, maka upaya Megawati dan Hasto melalui Uji Materil PKPU No. 3/ Tahun 2019 meski tidak etis, mau tidak mau harus dilakukan, meski dengan alasan-alasan yang sangat dicari-cari.
Tidak terdapat kepentingan yang mendesak bagi PDI Perjuangan dari aspek pendidikan politik, demokrasi dan elektoral, baik bagi DPP PDI Perjuangan maupun bagi Harun Masiku di dapil Sumsel 1. Hal yang nampak adalah hanya ambisi besar Harun Masiku, yang berkeinginan kuat, dengan motif ingin mendapatkan kekuasaan sehingga dengan kemampuan materi atau uang yang sangat besar mencoba menggusur posisi Rezky Aprilia dari anggota DPR RI.
Hal yang aneh adalah mengapa hanya demi kepentingan ambisi Harun Masiku, Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto mau berkorban dengan menempuh segala cara meskipun di luar kewajaran? Mengapa tidak membiarkan Harun Masiku sendiri yang menempuh upaya hukum, jika memang sistem hukumnya merugikan Harun Masiku?
*Ambisi dan Uang*
Jika hanya karena ambisi besar Harun Masiku dengan motif uang dan kekuasaan, maka uang yang bermain di belakang semua ini tidak hanya terbatas pada angka transaksi Rp 900 juta; sebagaimana yang diminta oleh Wahyu Setiawan, Komisioner KPU yang menyebabkan dirinya di-OTT KPK.
Bukan pula karena barang bukti Rp 400 juta yang di-OTT itu yang membuat ruang kerja Sekjen DPP PDI Perkuangan hendak digeledah, dipolice line dan sejumlah dokumen disita.
Kuat dugaan di balik semua itu, ada “uang besar yang bermain” di luar jatah uang yang diminta Wahyu Setiawan
Hasto berdalih bahwa persoalan PAW tidak bisa dinegosiasikan. Itu berarti dalam perspektif Hasto hanya partailah yang menentukan PAW. Maka dari itu DPP PDI Perkuangan mencoba “mengamputasi” wewenang KPU yang serta merta dapat mengganti caleg peraih suara terbanyak berikutnya menggantikan caleg terpilih Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Kalau itu perspektifnya, maka PDI Perjuangan seharusnya mengubah terlebih dahulu UU Pemilu No. 7/ Tahun 2017, sebelum mem- PAW anggota DPR Riezky Aprilia. Jalan menuju ke revisi UU No. 7 Tahun 2017 masih panjang, penuh liku-liku dan tidak menguntungkan bagi kepentingan Harun Masiku yang ingin dipaksakan menjadi anggota DPR RI.
Berita yang menyebut KPK hendak menangkap Hasto Kristiyanto melalui OTT, sangat mungkin terjadi. Bahkan sudah ada permulaan langkah pengejaran oleh KPK hingga ke PTIK, meski kemudian gagal.
Kita patut menduga, bahwa KPK punya temuan besar tentang angka rupiah atau dolar yang mencengangkan di balik proses PAW tersebut, karena dalam kalkulasi Harun Masiku, menjadi anggota DPR RI selain memiliki jaringan kekuasaan yang besar dengan uang bergelimang, juga status sosial bertambah tinggi. Sehingga semua celah hukum selalu dicoba dan diciptakan untuk menggapai kekuasaan itu.(☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus, SH Koordinator TPDI dan advokat anggota Peradi. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.