JAKARTA, kilas24.com– Politisi PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, bersihkuku tetap menyalahkan KPK melakukan penggeledahan Kantor DPP PDI Perjuangan tanpa membawa surat perintah dari Dewan Pengawas KPK.
Mantan aktivis “98 itu menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk “Mengungkap ‘Fakta” yang diadakan Indonesia Law Reform Institute tentang duduk perkara Wahyu Setiawan Komisioner KPU, di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (19/01)
KPK punya kewenangan melakukan penyidikan dan penyegelan, karena diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), UU RI No.19/ tahun 2019 tentang KPK. Pihak KPK sendiri menyatakan tidak melanggar hukum dan tidak melanggar etika. Pasalnya, dalam KUHAP (Hukum acara pidana) disebutkan, tidak semua penggeledahan dan penyitaan wajib memerlukan izin.
Menyikapi hal tersebut, Adian pun tidak mau tahu, yang jelas istilah OTT, kepanjangan dari Operasi Tangkap Tangan, tidak ada dalam kamus. Ia mengatakan telah mencari istilah OTT, tidak ada dalam kamus. Istilah yang ada, kata Adian, istilah Tangkap Tangan, baru ada dalam kamus.
Terkait Harun Masiku, lanjut Adian Napitupulu, seorang kader terbaik di PDI Perjuangan, dia memiliki hak untuk menggantikan anggota DPR RI yang telah meninggal. Namun, masih kata Adian, KPU memiliki interpretasi yang berbeda, sehingga Harun Masiku ditolak oleh KPU.
Padahal, masih versi Adian, “judicial review” yang diajukan PDI Perjuangan ke Mahkamah Agung, mwnyebut Harun Masiku memiliki hak untuk menggantikan anggota DPR yang meninggal melalui Penggantian Antar-Waktu (PAW) yang telah ditandatangani oleh Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.
“Jadi, Harun Masiku itu korban. Bukan pelaku. Mungkin karena diiming-imingi, akhirnya jadi OTT Komisioner KPU, dan hendak melakukan penggeledahan serta penyegelan ruang kerja Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI Perjuangan,” tandasnya, (Dedy Mulyadi)