JAKARTA, KILAS24.COM– Raden Ajen Kartini atau lebih tepatnya Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang kita peringati setiap tanggal 21 April. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan.
Raden Ayu Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan pribumi yang tidak mendapatkan kesetaraan dengan kaum laki-laki, khususnya di bidang pendidikan.
Tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini karena selain merupakan tanggal lahir Raden Ayu Kartini, juga merupakan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 108 tahun 1964 yang ditandatangani oleh Soekarno pada tanggal 2 Mei 1964.
Baca Juga: Peserta Lolos Seleksi Kartu Prakerja Gelombang 26 Perlu Ketahui Ini, Login Dashboard Prakerja.go.id
Melansir dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Sekretariat Kabinet (Setkab) RI, Surat Keputusan Presiden tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini.
Potret Raden Ayu Kartini, Tokoh Emansipasi Perempuan Pribumi
Kartini adalah pahlawan Indonesia yang memperjuangkan hak-hak emansipasi perempuan pribumi yang tidak mendapatkan kesetaraan dengan kaum laki-laki, khususnya di bidang pendidikan. Melihat kondisi tersebut, Kartini sebagai putri bangsa tergerak untuk peduli dengan pendidikan perempuan di zamannya yang tidak bisa mengenyam bangku pendidikan seperti dirinya.
Raden Ajeng (RA) Kartini memperoleh pendidikan karena lahir sebagai anak bangsawan dari ayahnya yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS) sampai berusia 12 tahun. Melalui sekolah tersebut, Kartini mempelajari berbagai hal, termasuk bahasa Belanda.
Pada masa lalu, di Indonesia masih terdapat kebiasaan turun temurun yang dilakukan yaitu anak perempuan yang sudah berusia 12 tahun harus tinggal di rumah untuk dipingit. Walaupun dalam keadaan tersebut, Kartini tetap mempunyai keinginan untuk belajar.
Melalui kemampuan bahasa Belandanya, Kartini gunakan untuk membaca buku serta menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satu yang sering dijadikan teman bercerita Kartini adalah Rosa Abendanon.
Dari komunikasinya dengan Abendanon tersebut, timbul ketertarikan Kartini untuk bisa berpikir maju seperti perempuan Eropa. Bukan hanya untuk dirinya, Kartini juga hendak memajukan perempuan pribumi yang kala itu masih banyak dibatasi oleh adat istiadat kuno.
Baca Juga: BSU 2022 Rp1 Juta Jadi Masuk Rekening Sebelum Lebaran? Simak Faktanya
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dinikahkan oleh keluarganya dengan Bupati Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Di mana sebelum menikah dengan Kartini, ia sudah pernah mempunyai tiga istri.
Setelah menikah, suaminya tersebut bukan menjadi sosok penghalang untuk Kartini memperjuangkan keinginannya memajukan pendidikan perempuan pribumi. Sang suami mendukung penuh mimpi-mimpi Kartini, salah satunya membangun sekolah khusus wanita.
Sekolah khusus wanita tersebut berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Sejak saat itu, Kartini aktif berperan memajukan pendidikan perempuan Indonesia.
Bukan hanya aksi nyata sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pendidikan perempuan Indonesia, pemikiran-pemikirannya tentang emansipasi perempuan juga sering ia tuliskan.
Kartini mempunyai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang ia lahirkan pada 13 September 1904. Berselang empat hari sehabis melahirkan, Kartini meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904. Kartini meninggal pada usia muda yakni 25 tahun. Jasadnya dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Setelah kematiannya, surat-surat yang Kartini tuliskan selama masa hidupnya dikumpulkan dan diterbitkan oleh Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajaan Hindia Belanda yaitu J.H Abendanon. Kemudian tulisan-tulisan itu disusun ke dalam buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht).
Buku itu diterbitkan pada tahun 1911 dengan bahasa Belanda sehingga tidak banyak warga pribumi yang bisa membacanya. Namun pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi terjemahan dengan bahasa Melayu.