Oleh: Petrus Selestinus
Tim dokter Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar, Bali, telah menggali kembali kuburan jenazah almarhum Anselmus Wora, aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Ende yang meninggal di Pulau Ende, 30 September 2019. Pembongkaran kubur almarhum dilakukan Rabu sore, 27 November 2019.
Penggalian kubur almarhum Anselmus Wora dilakukan dalam rangka autopsi, setelah sebelumnya pihak keluarga menolak dengan alasan tradisi budaya. Di sisi penyidik, beralasan untuk kebutuhan proses hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 133 KUHAP, untuk kepentingan peradilan.
Dalam mengungkap kasus kematian tertentu, penyidik memerlukan autopsi dan untuk autopsi penyidik sangat bergantung kepada kerjasama dan saling pengertian antara keluarga korban, warga nasyarakat setempat, dan polisi.
Demikian pula dalam kasus kematian Anselmus Wora.
Perlu dilakukan autopsi guna mengungkap sebab-sebab kematian secara pasti, meskipun publik meyakini bahwa Anselmus Wora meninggal dunia karena dibunuh.
Bagi masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), autopsi itu sebuah peristiwa langka, karena hampir setiap ada peristiwa kematian, keluarga selalu mengedepankan upacara penguburan secara agama dan adat. Sementara secara budaya, autopsi ditabukan melalui rambu-rambu adat, karena dianggap tidak sesuai dengan kultur masyarakat.
Namun akhir-akhir ini sudah terjadi kemajuan dalam cara pandang masyarakat adat, termasuk di Kabupaten Ende. Masyarakat mulai membuka diri menerima autopsi jenazah seseorang.
*Perlu Dikawal*
Almarhum dokter Mu’nim Idris, ahli forensik terkenal dari Fakultas Kedokteran UI dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusum (RSCM) Jakarta, dalam suatu perlajanan tugas bersama dengan TPDI ke Ngada, akhir 2008, untuk mengautopsi jenazah Romo Faustinus Sega, menuturkan pengalaman selama puluhan tahun menjalani profesi sebagai ahli forensik. Termasuk suka dukanya.
Satu hal menarik dari pengalaman dokter Mu’nim Idris, tetapi justru pengalaman itu dikatakan sebagai sesuatu yang paling tidak disukainya, yaitu adanya pesanan dari “kekuatan tertentu” yang meminta agar hasil autopsi bisa diubah sesuai selera pemesan, agar hasil autopsi bisa dibuat berbeda dari kondisi yang sebenarnya. Di situlah terjadi konflik batin seorang dokter Mu’nim Idris. Artinya, praktik memanipulasi hasil autopsi untuk tujuan “mengaburkan” sebuah peristiwa kejahatan, bisa dipesan dan apa yang terjadi di ruang tertutup Laboratorium Forensik, tidak ada yang tahu.
Kekhawatiran masyarakat Kota Ende, keluarga almarhum Anselmus Wora, dan warga NTT diaspora yang tergabung dalam Garda NTT di Jakata, kemungkinan terjadi pemutarbalikan hasil autopsi, misalnya dari sebab kematian karena kekerasa dengwn benda tumpul, diputarbalikan menjadi kematian karena serangan jantung, atau sebab lain di luar dugaan kejahatan pembunuhan.
Masalahnya, meskipun hasil autopsi sudah diserahkan kepada penyidik Polda NTT, namun hingga saat ini belum diumumkan. Terkesan ada sesuatu yang dicoba ditutup-tutupi dan sedang dicari alasan pembenarannya.
*Perkuat bukti*
Penyidikan sudah berjalan selama empat bulan, belum membuahkan hasil. Terutama untuk memastikan sebab-sebab kematian. Padahal polisi sudah melakukan olah TKP, menyita sejumlah barang bukti yang diperoleh dari olah TKP, petunjuk-petunjuk berdasarkan hasil rekonstruksi, investigasi melalui alat komunikasi (ITE) milik almarhum Anselmus Wora dengan pihak lain, serta keterangan 35 saksi.
Lantaran itulah penyidik dalam tim gabungan perlu hati-hati dalam menggunakan hasil autopsi, karena autopsi ini sesungguhnya hanya untuk memastikan sebab-sebab kematian berdasarkan bukti-bukti yang sudah dimiliki penyidik sebelum melakukan autopsi.
Artinya, jangan sampai hasil autopsi tersebut lantas mementahkan hasil penyidikan yang sudah berjalan selama empat bulan. Jangan sampai autopsi menajdi berita buruk bagi keluarga almarhum Anselmus Wora dan masyarakat Kota Ende serta Garda NTT di Jakarta yang saat ini mengadvokasi penyidikan kasus tersebut terkait dengan autopsi yang tidak kunjung diumumkan. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus, SH adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan advokat anggora Peradi. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Anda dapat membaca artikel lainnya di Google News