Oleh : Tuanenes
Episode II
Perjalanan cinta yang terjalin bersama Mawar, penuh warna-warni. Dramatis. Perasaan bergelombang seperti frekuensi. Berkelok, terjal, menajam dan melelahkan.
Aku tak menyangka, Mawar juga menyukai seni. Ia mengaku hobi menulis puisi dan cerpen. Kebiasaan itu ia lakoni sejak remaja hingga saat ini.
“Waktu di bangku SMA aku sering menulis puisi di majalah dinding,” tutur Mawar, menatapku sambil melempar senyum manja.
Sore itu sengaja aku mengajak Mawar jalan-jalan menyusuri taman kota. Seperti biasa, sejak perkenalan pertama di sebuah toko buku, waktu bagi kami adalah batasan kerinduan yang menaburi alur kehidupan. Di setiap waktu, pasti kami bertemu. Apalagi jika ada jam kosong, atau dosen tidak masuk, Mawar pasti kontak.
“Ketemu yuk? Lagi galau nih,” pintanya memohon.
Aku tahu Mawar tipe “single fighter”. Ia tidak cengeng. Makanya aku tak percaya jika ia galau. Roby, Dion, Candra yang duduk menepi di sudut ruangan kutinggalkan tanpa pamit. Sengaja aku pergi diam-diam agar mereka tidak tanya macam-macam. Apalagi Roby. Ia pasti selidik. Bahkan bisa bisa minta ikut. Kalau sampai nyusul agenda pertemuanku dengan Mawar pasti berantakan. Tidak cuma itu rahasiaku pasti dibongkar habis. Maklum selama ini teman teman kuliahku tidak ada tahu jika aku dah punya pacar.
Ternyata perhitunganku meleset. Baru beberapa langkah menuju lift, Si Barewok itu teriak dari ruangan. Kami selalu memanggil Roby dengan julukan Barewok, karena tampangnya memang mirip orang Arab.
“Hei! Mau ke mano lu?” tanya Roby dalam dialek Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan, “apa” diucap apo, mana ya mano. Seperti itulah!
Lantaran sudah di depan lift, aku tak menghiraukan teriakan cowok Palembang itu. Bagiku Mawar adalah serpihan jiwaku. Hanya hitungan menit, tak berselang lama, lift mengantarku dari lantai tujuh tiba di lobi utama.
Gerimis sore itu, seperti tahu aku mau menemui Mawar. Sedikit berlari, menerjang gerimis, aku menuju motorku. Tak ingin mengecewakan Mawar, kupacu Honda Mio bak di film Ali Topan Anak Jalanan. “Gerimis mengundang,” aku membatin. Sepanjang perjalanan, wajah Mawar terus membayang. Biasanya kalau sudah begini, perasaan rindu ikut menyelinap begitu saja, tanpa permisi menggerogoti energi.
“Selamat sore kerinduan,” aku menyapa Mawar yang telah lama menunggu. Gemuruh alam yang terus bergolak laksana tamu agung dalam istana yang tak mau hengkang.
“Dah lama menunggu?” kataku memecah kebisuan.
Sore itu Mawar mengenakan celana jeans dipadu dengan T-shirt warna biru. Ia tampak anggun. Kecantikan memancar sangat jelas, berhamburan bersama aroma parfum yang ia kenakan. Ya, Mawar memang suka wangi-wangian. Ia pernah menawari aku parfum dan menyatakan agar selalu tampil trandy.
“Cowok itu harus tampil keren. Biar cewek-cewek pada naksir,” goda Mawar sambil mencibir tipis.
Pertemuan itu aku jadikan sebagai ajang untuk curhat. Aku tahu di setiap waktu, apalagi kala menjelang malam, Mawar selalu mengutarakan perasaan, jika ia sulit memejamkan mata, kalau perasaan rindu menggelayut di kelopak mata.
“Kita harus realistis. Sampai kapan kita membiarkan diri diterjang banjir kerinduan, menerobos dinding perasaan?” ujarku.
Mawar tahu matahari bersinar dengan cara yang sama di jam yang sama. Menyengat dengan cara yang sama pula.
“Mungkinkah kita belajar kesetiaan pada matagari?” kataku sedikit berfilsafat.
Matahari tak pernah absen sedetik pun meski terhalang oleh kabut tebal. Begitu juga perasaan cinta, kalau sudah meluber, merembes ke mana-mana. Meluap-luap melebihi banjir, membara melebihi sengatan sinar matahari. Jika mandek, cinta bisa absen berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Cinta tak pernah belajar kesetiaan pada alam . Meski demikian kesetiaannya adalah bunga yang mekar sepanjang musim.
Mawar terdiam. Pandangan matanya hampa. Menatap sejauh cakrawala membentang dengan tatapan kosong. Aku tahu gerangan apa yang terjadi dengan gadis penyuka warna biru ini.
Ya, Mawar pernah bercerita. Ia pengagum warna biru, sebiru langit. Aku cuma berdecak kagum atas kegemaran Mawar terhadap warna. Toh aku juga tak bertanya, kenapa menyukai warna itu. Aku kira bukan urusanku menyelidik sejauh itu.
Hari mulai malam. Rotasi waktu tak pernah permisi. Ia terus menggelinding mengiringi porosnya. Kesunyian merayap bersama kelamnya malam. Dalam keheningan, bulan sabit cuma bisa melempar senyum di antara bintang yang bertaburan di angkasa.
“Ah, Mawar. Senja hanya sepotong cahaya di paruh waktu, sebelum dipeluk malam ke dalam peraduannya. Tahukah kamu? Senja datang tidak untuk menebus kegundahan hatimu,” aku menggumam.
Senja hanya cahaya yang yang tanpias di antara gedung-gedung bertingkat, mencakar langit. Merajut hari-hari sambil menyulam cinta bersamamu di pelataran, tempat para pengemis renta mengais rejeki.
Bagiku kesetiaan itu seperti air yang mengalir sepanjang musim.
(Bersambung)
Penulis adalah jurnalis asal Timor. Pengagum senja, bekerja di Jakarta.
Tuanenes atau Amnenes. Begitulah orang orang sekampung memanggilku. Nama inisial yang melekat dengan marga.