KILAS24.COM — Kendati proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sudah diresmikan dan beroperasi sejak 2 Oktober, tetapi pembebasan lahan stasiun dan sekitarnya berlokasi di Halim, Jakarta Timur masih bermasalah.
Hal itu terbukti dari gugatan perkara oleh pemilik lahan di Pengadilan Jakarta Timur dengan nomor sidang 457/Pdt/G/2923/PN Jkt-Tim 149/Pdt. Gugatan ini merupakan kelanjutan dari perkara No. 149/Pdt.G/2019/PN-Jkt-Tim.
Seperti diketahui, dalam gugatan terdahulu pada 2019, pengadilan memutuskan dengan hasil NO (Niet ontvankelijke Verklaard). Artinya, gugagatan itu tidak dapat ditindaklanjuti oleh hakim untuk diadili atau diperiksa sehingga tidak ada obyek dalam gugatan dalam putusan untuk dieksekusi.
Menurut pengacara Servas Sadipun pada Rabu (18/10/2023) diadakan sidang lanjutan keempat berupa mediasi tahap kedua setelah sidang pertama yang berlangsung pada 7 September 2023 yang lalu.
Dalam gugatan tersebut, lanjut Sadipun, dia mewakili ahli waris pemilik Eigendom Verponding nomor 6329 yang adalah pemilik sah atas tanah yang dipakai untuk stasiun kereta cepat.
“Yang menjadi tergugat pertama dalam sidang ini adalah pihak Angkatan Udara (AU) yang mengakui sebagai pemilik lahan yang dipakai untuk proyek kereta cepat dengan stasiun yang berada di Halim,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (19/10/2023).
Tergugat lain adalah PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). KCIC merupakan konsorsium gabungan antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan 60% dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd sebesafr 40%.
PSBI beranggotakan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dengan komposisi saham 38%, PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar 25%, PT Perkebunan Nusantara VIII 25 % dan PT Jsa Marga (Persero) Tbk sebesar 12%.
Proyek kereta Jakarta-Bandung sudah diresmikan oleh Presiden Joko widodo pada 2 Oktober 2023, dan mulai pada 18 Oktober penumpang kereta akan dikenakan tarif resmi.
Sadipun menjelaskan bahwa dalam persidangan KCIC selalu mengatakan mereka menyewa laham milik Pangkalan Angkatan Udara Halim selama 50 tahun untuk lahan seluas 2,6 hektare (ha) dengan harga Rp 1,4 triliun.
“Namun, mana bukti bahwa itu tanah milik Angkatan Udara. Selama ini dalam persidangan mereka tidak pernah menunjukkan bukti kepemilikan mereka. Anehnya KCIC berani sekali menyewa lahan dari pemilik yang belum jelas “ tegasnya.
Sadipun menyanyangkan bahwa pengakuan sebagai aset negara atau aset Angkatan Udara, sebagaimana yang dicek melalui dokumen pengadilan, tanpa disertai bukti pembelian dan nilai pembayaran.
Padahal, di pihak lain, lanjut Sadipun kekuatan legal dokumen yang dipegang ahli waris secara administratif terdaftar sejak tanggal 27 November l934 Tentang Meet Brief No 72 Eigendom Verponding No 6329.
Kemudian Surat Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Timur, dalam jawaban tertulis yang ditujukan kepada Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma tertanggal 12 September 2003 nomor 710/600/III/PT/JT/2002, perihal Keterangan atas Bidang Tanah dalam Peta LP, DKI lembar 53/54 dan lembar 54/55, menyimpulkan bahwa tanah yang dikuasai TNI AU di Cipinang Melayu tersebut merupakan tanah bekas Eigendom Verponding 6329.
Lalu, Eigendom Verponding 6329 telah resmi tercatat secara legal pada Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Direktorat Agraria pada 8 Januari 1980. Tambahan lagi, Kepemililan Hak Mewaris di BHP juga ditetapkan dengan nomor W. 10.AHU.2.089.AH.06.09 Tahun 2014/08/III.
Bahkan, Surat Konstelasi Arsip Nasional tahun 2016 menegaskan bahwa bukti kepemilikan Tanah Galian Kampung Dua Ratus, lokasi yang menjadi obyek perkara, adalah Eigendom Verponding 6329, bukan girik atau hak milik adat.
Sementara itu Hasyim, rekan pengacara yang mendampingi Servas Sadipun menegaskan pihaknya akan memperjuangkan secara optimal hak pemilik tanah yang sah yang dipakai untuk proyek nasional tersebut.
Hasyim juga menilai terdapat keanehan dalam proses pembebasan lahan yang dipakai untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal semua proses sudah diatur dalam undang-undang, misalnya melalui UU No 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Biasanya pemerintah membentuk sebuah tim, dan tim itu kemudian bertemu dengan warga untuk membicarakan lahan. Tapi untuk proyek kereta cepat, prosesnya agak aneh karena semuanya serba cepat dan tertutup, tapi kemudian kami baru tahu kalau KCIC menyewa lahan milik Angkatan Udara,” tegas Hasyim. (Media Digital)