Oleh : Petrus Selestinus
Negara telah mengeluarkan biaya besar untuk menumpas pelaku kejahatan yang menggunakan bahan peledak. Suatu kejahatan di mana orang secara tanpa hak membawa bahan peledak atau amunisi yang sangat membahayakan nyawa manusia, ikan dan terumbu karang dilaut bahkan NKRI.
Pemerintah lewat instrumen Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan TNI Angkatan Laut setempat terus menerus melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Namun ketika kasusnya masuk tahap penyidikan dan penuntutan, tidak ada “output” maupun “outcome”. Nyaris tak terdengar gaung penyelesaiannya secara tuntas.
Fakta-fakta tentang peredaran bahan peledak di Flores banyak diungkapkan di media massa, karena OTT Polairud dan TNI Angakatan Laut berhasil cukup menonjol. Sebagai bukti bahwa ada agenda besar negara mengantisipasi gerakan kelompok radikal yang sedang membangun kekuatan di NTT yang bertujuan memecah belah NKRI.
Hal tersebut sebagaimana dikonstantir oleh KABINDA NTT. Ada kekhawatiran bahan peledak yang marak beredar itu dirakit untuk tujuan lain terkait dengan radikalisme, terorisme dan intoleransi di Flores dan tempat lain di Provinsi NTT.
Ada semangat aparat pemerintah menumpas aktivitas orang-orang yang berkontribusi dalam gerakan kelompok radikal dengan suplay bahan peledak atas kemasan untuk bom ikan melalui OTT. Namun polres dan kejaksaan tidak merespons secara progresif dalam proses hukum lebih lanjut.
Di sana patut dapat diduga terjadi praktik KKN dengan banyak pilihan menu. Mau pilih kasusnya mangkrak di polres, atau memilih kasusnya naik ke penuntutan. Nanti di sana sudah ada oknum polisi atau oknum jaksa yang mengatur berapa lama tuntutan hukumannya dan mau berapa lama vonis hukumannya. Bahkan, barang bukti pun bisa dijual.
*Tangkap dan Pecat*
Kasus dua wanita, Anisa dan Tia yang tertangkap tangan membawa enam karung pupuk cap “Matahari” pada 13 Maret 2020, telah menyeret nama oknum jaksa AB, Kasi Pidum Kejari Sikka, karena diduga menjual enam karung barang bukti bahan peledak.
Namun hingga saat ini tidak ada penindakan. Malah ada opsi untuk memindahkan oknum jaksa tersebut ke tempat lain, tanpa proses hukum. Padahal semestinya terhadap oknum jaksa tersebut dilakukan penangkapan dan penahanan, karena diduga terlibat kejahatan berat dan korupsi penggelapan barang bukti.
Begitu juga kasus bahan l
peledak yang sudah dibuat penyerahan dari Danlanal Sikka kepada Polres Sikka pada 12 Desember 2019. Ketika itu dua orang tersangka pelaku (Iksan alias Lacika dan Lambula), berikut sepuluh karung pupuk bahan peledak sebagai barang bukti, diserahkan penanganannya kepada Polres Sikka.
Namun demikian hingga saat ini terhadap perkara pidana tersebut tidak jelas penanganannya. Apakah karena faktor transaksi uang besar dan memberi ruang kepada pelaku pengedar bahan peledak, atau memang ada oknum penegak hukum yang terpapar radikalisme.
Oleh karena itu dalam kasus dugaan oknum jaksa AB tersebut ikut bermain menggelapkan barang bukti
enam karung bahan peledak, harus diusut tuntas. Selain harus dipecat, setidak-tidaknya dinonaktifkan dari seluruh jabatan fungsional dan struktural yang melekat padanya. Selanjutnya menghadapi proses hukum.
Rencana Kajari Sikka, Azman Tanjung, SH untuk memindahkan oknum jaksa AB dari Sikka adalah langkah keliru. Tidak mendidik, bahkan secara berlebihan melindungi anak buah yang patut dapat diduga melakukan perbuatan melawan hukum.
Sebagai Jaksa, tindakan AB secara tanpa hak menyerahkankan atau menjual bahan peledak kepada Anisa dan Tia, tidak semata-mata hanya persoalan korupsi atau penggelapan dalam jabatan, tetapi juga harus dilihat dari aspek radikalisme.
Oknum jaksa AB setidak-tidaknya patut menduga bahwa bahan peledak itu bisa saja jatuh ke tangan kelompok radikal dan dimanfaatkan untuk mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat di Sikka dan Flores Timur, saat pekan suci Paskah dan Semana Santa April 2020. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus, SH adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), dan advokat anggota PERADI, berdomisili di Jakarta. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.