JAKARTA, KILAS24.COM — Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebutkan semangat penetapan upah minimum 2022 berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021 adalah untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah untuk mewujudkan keadilan antar wilayah.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan, Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, keadilan antar wilayah tersebut dicapai melalui pendekatan Rata-Rata Konsumsi Rumah Tangga di masing-masing wilayah.
Dinar Titus menjelaskan penetapan Upah Minimum juga ditujukan untuk mencapai kesejahteraan pekerja/buruh dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan dan kondisi nasional.
Hal tersebut dilakukan melalui penggunaan data-data ekonomi dan ketenagakerjaan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya, BPS menjadi satu-satunya wali data nasional merupakan lembaga yang independen dan kompeten dalam hal penyediaan data-data makro yang dibutuhkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan.
Baca Juga: Upah Minumum 2022: Diumumkan Tanggal 21 November, Ini Bocorannya, Jakarta Tertinggi, Jateng Terendah
Simak Juga: Kemnaker Beberkan Rata-Rata Kenaikan Upah Minimum Provinsi 2022
“BPS tidak melakukan kegiatan pengumpulan data yang secara khusus ditujukan untuk penghitungan Upah Minimum,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip dari laman resmi Kemnaker, Selasa (16/11/2021).
Data BPS yang dipergunakan dalam perhitungan Upah Minimum sudah lama dikumpulkan oleh BPS sebelum disahkannya PP No. 36 Tahun 2021. Data untuk penghitungan penetapan Upah Minimum bisa diakses pada wagepedia.kemnaker.go.id.
“Data tersebut juga digunakan oleh institusi lain baik lokal maupun internasional dalam merencanakan atau mengambil keputusan yang akan dilakukan, sehingga banyak pihak yang mengawasi data BPS,” ucapnya.
Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Pakar Pengupahan, Joko Santosa mengatakan, penetapan Upah Minimum penting untuk menaikan Indeks daya saing Indonesia.
Selain itu upah minimum juga bisa meningkatkan kepercayaan investor terhadap sistem pengupahan Indonesia terkait kepastian hukum dan indikator perekonomian dan ketenagakerjaan.
Baca Juga: Pencairan PKH Hampir Selesai, Jangan Cemas Rp1,1 Triliun untuk BSU Siap Cair
Simak Juga: Bantuan Kuota Kemendikbud Cair Lagi, Ini Cara Cek Masing-Masing Operator
Selain itu, kata Joko, dampak lain yang mungkin perlu diantisipasi terhadap penetapan upah minimum pada Covid-19 saat ini yaitu potensi terhambatnya perluasan kesempatan kerja baru.
Terhambatnya kesempatan kerja itu terjadi karena substitusi tenaga kerja ke mesin (otomatisasi proses produksi), memicu terjadinya PHK, mendorong terjadinya relokasi dari lokasi yang memiliki nilai UMK tinggi kepada lokasi yang memiliki nilai UMK yang lebih rendah, dan mendorong tutupnya perusahaan.
“Potensi lainnya yaitu untuk meningkatkan ruang dialog kesepakatan upah serta penerapan struktur dan skala upah diatas upah minimum” ucapnya.
Joko juga mengajak seluruh pihak untuk lebih fokus dalam penyesuaian upah di atas upah minimum yang jumlah pekerjanya adalah mayoritas.
Terlebih lagi dengan kondisi upah minimum yang sudah di atas median atau rata-rata upah, sebaiknya semua pihak fokus kepada upah berbasis kinerja individu dan produktivitas, sehingga kenaikan upah masing-masing pekerja akan bergantung dengan produktivitas yang dihasilkannya.
Bila hal ini dilakukan, maka dapat mendorong kesejahteraan pekerja secara keseluruhan.
“Penerapan struktur skala upah dengan penyesuaian berbasis kinerja individu akan mendorong distribusi upah di atas upah minimum secara adil antar jabatan/pekerja yang harus menjadi tujuan perjuangan pekerja dan SP/SB,” kata Joko.