Oleh: Petrus Selestinus
AKBP Anton C. Nugroho, Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum (Wadireskrimum) dan Tim Polda NTT diduga menyalahgunakan otopsi dan hasil penyidikan kasus kematian Anselmus Wira demi SP3.
Sebuah media online beberapa waktu yang lalu menulis berita dengan judul “Fakta dan Fiktif Penerapan Hukum Pasca Ditutupnya Kasus Kematian Anselmus Wora”. Berita tersebut mengungkap iming-iming tim penyidik Direskrimum Polda NTT yang dipimpin oleh Wadireskrimum Polda NTT, AKBP Anton C. Nugroho, saat timnya bertemu keluarga almarhum Anselmus Wora di Ende.
Intinya, pihaknya memiliki keyakinan 90 persen hasil penyidikan sudah bisa mengungkap dugaan pembunuhan terhadap Anselmus Wora, karena itu diperlukan 10 persen langkah melalui otopsi untuk memperkuat hasil penyidikan yang ada.
Iming-iming tim penyidik AKBP Anton C. Nugroho yang katanya memiliki keyakinan 90 persen penyidikan mengungkap dugaan pembunuhan Anselmus Wora, telah membuat keluarga almarhum luluh hati dan mengizinkan ekshumasi dan otopsi jenazah.
Namun nyatanya iming-iming dimaksud hanya tipu muslihat belaka, karena hasilnya berujung pada keputusan yang sangat mengecewakan. Faktanya,
Visum Et Repertum (VER) tanggal 18 Desember 2019, digunakan untuk menutup penyidikan kasus kematian Anselmus Wora sejak 21 Februari 2020.
VER dokter ahli forensik Polri yang ambigu dan minus analisis. Hal itu diduga buah dari konspirasi untuk menutup kasus ini, karena fakta-fakta temuan dokter ahli forensik soal luka akibat kekerasan benda tumpul, tidak didapatkan kelainan nyata pada paru-paru dan tidak didapatkan tanda-tanda infark.
Tidak pula dilakukan pendalaman melalui suatu penyidikan. Terlebih-lebih kesimpulan dokter bahwa sebab-sebab kematian korban tidak dapat ditentukan, karena jenazah sudah mengalami pembusukan lanjut sebagai kesimpulan tidak logìs, karena jenazah baru 28 hari dikubur.
*Sudah Jatuh Tertimpa Tangga*
Keluarga almarhum Anselmus Wora merasa telah menjadi korban kebohongan berantai. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula, akibat iming-iming tim dari AKBP Anton C. Nugroho.
Padahal dengan jabatan Wadireskrimum Polda NTT atas nama polisi Promoter, seharusnya tim AKBP Anton C. Nugroho bekerja dengan menjunjung tinggi prinsip Polisi Promoter. Bukan sebaliknya, membarter 90 persen keyakinan palsu yang dimiliki itu untuk mendapatkan izin otopsi, sekadar alat untuk menutup penyidikan kasus ini.
Semua pihak yang berkepentingan dengan pengungkapan siapa pelaku pembunuhan dalam kasus ini, sepakat akan melaporkan AKBP Anton C. Nugroho dkk (satu tim penydiknya) ke Kapolri, karena diduga telah mengeluarkan kata-kata bohong untuk memperdaya keluarga almarhum Anselmus Wora.
Sekadar untuk mendapatkan izin ekshamasi dan otopsi.
Hal tersebut sudah masuk kategori tindak pidana penipuan yang diduga dilakukan oleh tim penyidik AKBP Anton C. Nugroho. Pasalnya, karena penyidik ternyata telah mengabaikan 90 persen hasil penyidikan yang katanya sudah hampir memastikan siapa pelakunya, hanya karena otopsi yang ambigu dan dangkal materinya.
Satu hal yang menjadi tanda tanya publik dan keluarga almahrum adalah mengapa VER yang diterbitkan tanggal 18 Desember 2019 tertahan begitu lama (dua bulan lebih) di tangan Direskrimum Polda NTT, dan baru diumumkan setelah ada protes keluarga almahrum dan masyarakat, akibat VER dimaksud tidak kunjung diberitahukan kepada pihak keluarga dan masyarakat.
Apa saja yang terjadi dan dilakukan oleh penyidik pasca VER, tidak ada yang tahu kecuali dugaan kuat adanya “konspirasi jahat” untuk menutup kasus ini.
*Utang Nyawa*
Tidak adanya laporan hasil penyidikan pasca VER dikeluarkan pada tanggal 18 Desember 2019 kepada Keluarga almahrum dan masyarakat, memperlihatkan dengan jelas betapa VER dokter ahli forensik telah disalahgunakan untuk kepentingan menutup kasus ini secara permamen dan sewenang-wenangm Diduga kuat demi memenuhi “pesanan” kekuatan politik tertentu di balik perisitiwa kematian Anselmus Wora. Padahal ini adalah utang darah dan nyawa manusia yang menuntut pertanggung jawaban pidana. Sampai kapan pun akan dikejar.
Tidak adanya pendalaman terhadap “kesimpulan” dokter ahli forensik tentang: (1) “trauma tumpul pada kepala yang menyebabkan pendarahan pada otak, dapat menyebabkan kematian”, (2) “tidak didapatkan kelainan nyata pada sampel jaringan paru”, dan (3) “tidak didapatkan tanda-tanda infark”, hal itu membuktikan bahwa almahrum tidak mengidap penyakit jantung.
Lantas, apa urgensinya menghadirkan “second opinion” dokter ahli jantung untuk memberikan kesimpulan sesat memvonis ada penyakit jantung di luar BAP sebagai saksi. Apa pula urgensinya menutup penyidikan kasua ini dan ke mana 90 persen hasil penyidikan yang katanya mendekati pengungkapan kasus ini.
Sejak penyidikan diambil alih ke Direskrimum Polda NTT, publik curiga bahwa akan ada skenario besar “penghentian oenyidikan”, guna memenuhi “pesanan” pihak ketiga. Oleh karena itu Tim AKPB Anton C. Nugroho dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana, karena diduga telah memperdaya keluarga almarhum Anselmus Wora dengan kata-kata bohong disertai iming-iming otopsi untuk memperkuat hasil penyidikan.
Namun demikian hal itu hanyalah tipu muslihat untuk memenuhi kebutuhan konspirasi politik di balik skenario SP3 tersebut. (☆)
Catatan Redaksi:
Petrus Selestinus adalah
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), dan advokat anggota Peradi. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.