Oleh: Silvester Nong M, SH
Jangan gunduli aku, jangan kuliti aku, jangan keruk perutku.
Dari aspek geografis apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka NTT terkenal dengan kondisi alam yang kering, bebatuan, padang sabana yang maha luas, topografi yang berbukit bukit terjal dan berkelok kelok, curah hujan sedikit, panas bekepanjangan, dll. Oleh karenanya alamnya nampak sangat gersang dan terasa panas hampir sepanjang musim.
Beruntung bahwa NTT terdiri dari gugus pulau sedang dan kecil, sehingga masih ada angin laut yang sepoi sepoi menerpa daratan.
Manggarai (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur) agak unik, satu-satunya daerah di NTT yang memiliki hutan tropis dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang kaya. Bahkan banyak jenis flora dan fauna langka yang hanya tumbuh di hutan-hutan Manggarai.
Namun dalam tiga dekade tetakhir hutan Manggarai mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Selain dirambah untuk mengambil kayu dan perluasan pertanian, perkebunan dan pemukiman, juga karena aktivitas pertambangan.
Laju kerusakan lingkungan yang signifikan di Manggarai menimbulkan kekuatiran yang lebih besar, yang tentu saja akan berdampak pada manusia dan makluk hidup lainnya. Apalai kalau ada aktivitas pertambangan dan pabrik semen yang dibangun di pesisir utara Manggarai, tepatnya di Luwuk dan Lengko Lolok. Bukan tidak mungkin kondisi lingkungan Manggarai yang terkenal subur di NTT akan rusak.
Dengan pertimbangan-pertimbanan tersebut di atas, sudah sepatutnya pemimpin NTT baik pada tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota seia-sekata mencanangkan Nusa Hijau sebagaimana dulu pernah dicanangkan dan dikumandangkan oleh Alm. Ben Boy ketika menjabat sebagai Gubernur NTT (1978-1988).
Mengapa NTT harus hijau? Agar menyelimuti bumi NTT, melindungi dan memulihkan kembali mata air yang sudah kering, melindungi dan penyuburkan tanah dan tanaman yg sudah gersang. Membendung erosi ketika hujan dan badai menerpa bumi NTT. dll., sambil kita menabur emas hijau untuk kita dan akan kita wariskan kepada anak cucu kita.
Maka itu, jangan gunduli dia, jangan kuliti dia, jangan keruk isi perutnya, hanya sekedar mendulang intan permata, tatapi sebaliknya merusak bumi NTT, sekaligus memghancurkan nasib dan masa depan anak cucu kita.
Ingat, dimana-mana, penambang cenderung serakah, semakin ia menambang, semakin ia melihat begitu banyak hasil yg diraih, maka ia tidak akan pernah berhenti menambang. Ia lebih didominasi oleh naluri primitif yg sedang bergejolak untuk terus menambang.
Memang, tidak bisa dipungkiri, bahwa selama tabang beroperasi, ada dinamika hidup di sana, ada tenaga kerja yg terserap, ada perputaran uang di sana, ada peningkatan pendapatan perkapita bagi masyarakat di sekitarnya, ada peningkatan PAD melalui pajak bagi daerah, dll.
Akan tetapi pada saat yang sama sesungguhnya kita sedang membutakan mata kita dan mentulikan telinga kita, mengkatupkan suara hati kita, sambil merancang bangun jembatan menuju kehamcuran. yakni ketika tambang berhenti beroperasi, maka kampung yg dulunya berubah menjadi kota, kelak bagaikan kota mati, kota yang tidak bertuan. denyut nadi perekonomin terhenti. Pendapatan perkapita turun ke titik nadir, PAD kembali melorot tajam. Bahkan lebih ekstrim lagi tatanan adat dan budaya kita yang dulu pernah ada, kini tinggal kenangan. Ketika itu bukan lagi emas, intan permata yg kita raup, akan tetapi menuai badai yang tidak berksudahan.
Atas dasar permikiran yg demikian itu, maka gerakan anti tambang baik dari masyarakat, Gereja dam LSM, selama ini patut diberi apresiasi, dan layak mendapatkan perhatian sungguh- sungguh dari Pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam menata lingkungan alam, sosial, budaya dan ekonomi NTT yang lebih baik dan lebih bermartabat ke depannya.
Dengan demikian sudah tepat apabila Gubernuar NTT mendukung penolakan tambang kapur di Manggarai Timur ole masyarakat setempat.
Mamang kita juga tidak memungkiri, bahwa bagi daerah miskin seperti NTT butuh investasi, butuh campur tangan pihak luar untuk paling tidak memperbaiki nasib kita dari pra menjadi sejahtera. Namun
demikian, tidak boleh kita lupakah bahwa kesejahteran itu tidak harus merusak alam dan lingkungan. Sejahtera itu harus selaras alam dan dapat diwariskan kepada anak cucu kita.
Dengan demikian, daripada kita gunduli bumi NTT, kita kuliti bumi NTT, kita keruki perut Bumi NTT, alangkah bijaksananya jika kita selimuti bumi NTT dengan mulai menggelorakan gerakan menanam, menanam dan menanam.
Hijau Nusaku, Sejahtera NTT-ku.
Silvester Nong,SH : Advokat, Pimpinan YBBH Veritas Jakarta.