KILAS24.COM- Silahkan simak tafsir dari ulama besar Muhammadiyah Buya Hamka tentang dalil kewajiban puasa Ramadan di Surat Al Baqarah ayat 183. Ayat 183 Al Baqarah, surat kedua dalam Al Quran, secara umum diartikan sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, kemudian kita lebih mengenal dengan panggilan Buya Hamka, dalam tafsir Al Azhar jilid 1 menyebut ayat dalam surat Al Baqarah 183 itu mengandung empat bagian.
Berikut ini empat elemen penting dari ibadah puasa seperti tertulis dalam artikel di laman muhammadiyah.or.id berjudul Makna Perintah Puasa di Al-Baqarah 183 Menurut Buya Hamka:
Baca Juga: Dua Menteri akan Dilantik Besok, Benarkah Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Termasuk?
Pertama: hikmah, kedua: pelajaran, ketiga: tujuan, dan empat: faedah.
Hikmah: Puasa Ramadan Hanya Bisa Ditunaikan oleh Orang yang Memiliki Iman
Buya Hamka yang mengutip penjelasan dari sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud, menyebut bahwa ayat yang dimulai dengan lafal “Ya ayuhalladziina-aamanu” (wahai sekalian orang-orang beriman) dipastikan berisi suatu pesan yang sangat penting yang hanya bisa ditunaikan oleh orang-orang beriman saja.
Menurut Buya Hamka, kalau tidak diberikan kepada orang yang beriman, perintah tersebut tidaklah akan berjalan. Orang yang merasa dirinya ada iman bersedia menunggu, kira-kira apa perintah yang akan dipikul itu.
“Dan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya dan bersedia pula bangun di waktu sahur (dinihari) dan makan pada waktu itu, karena Tuhan yang memerintahkan,” tulis Buya Hamka.
Baca Juga: Presiden Jokowi: SDM Hakim Merupakan Kunci dalam Sistem Peradilan
Pelajaran: Puasa Adalah Suatu Kegiatan Agung, Telah dilakukan Umat Terdahulu
Dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menyebut puasa adalah shiyam dan shaum. Keduanya memiliki arti menahan.
Dalam pengertian syariat, menurut artikel tersebut, shiyam bermakna menahan makan dan minum dan bersetubuh suami isteri dari waktu fajar sampai waktu maghrib.
SEBELUM RISALAH ISLAM
Ajaran tentang puasa sudah ada sejak zaman sebelum risalah dari Nabi Muhammad turun. Buya Hamka menulis, bahkan agama Hindu, Buddha, agama Mesir Kuno juga memiliki ajaran tentang ibadah puasa.
Dalam tradisi agama Samawi, puasa juga dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Kitab Taurat memuji dan menganjurkan umatnya untuk berpuasa.
Begitu pula Kitab Injil, Nabi Isa As, Nabi Musa As, Nabi Zakaria dan Maryam yang secara spesifik disebut pernah berpuasa oleh Alquran.
Setelah Rasulullah Saw diutus, puasa ditetapkan sebagai ibadah. Puasa yang wajib melalui Ramadan, dan yang lain-lain sebagai ibadah sunnah (tathawu’).
Baca Juga: Pemerintah Bahas Persiapan Pencairan THR dan Gaji Ke-13, Diperkirakan Cair Awal April 2024
Tujuan: Puasa Membentuk Ketakwaan
Di ujung ayat Al-Baqarah 183, ibadah puasa disebut untuk membentuk pribadi yang bertakwa (la-alakum tattaqun). Kaum muslimin, menurut Hamka dilatih untuk dapat mengendalikan diri. Terutama pada dua syahwat alamiahnya, yaitu syahwat perut, dan syahwat kelamin.
Walaupun seorang muslim itu telah memiliki pasangan yang halal, makanan dan minuman yang halal, dan tidak ada satu orang pun yang mengawasinya, orang yang beriman tetap akan berpuasa karena keyakinannya pada pengawasan Allah Swt.
“Jika keduanya ini tiada terkendali (syahwat perut dan syahwat kelamin), bisalah kemanusiaan manusia menjadi runtuh dan turun bertukar menjadi kebinatangan. Tetapi apabila dapat dikendalikan dengan puasa, kemanusiaan tadi akan naik tingkatnya. Kesabaran menahan adalah nilai yang amat penting bagi keteguhan jiwa. Sebab itu maka bersabda Nabi kita Saw, Puasa adalah separuh dari sabar (HR Ibn Majah).”
Baca Juga: Ini Jumlah ASN yang Dipindahkan ke IKN Pada Juli 2024
Faedah: Puasa Menyebabkan Kesehatan Badan dan Kestabilan Jiwa
Selain memenuhi tuntutan syariat, puasa juga memiliki fadhilah bagi badan, misalnya kesehatan. Hamka lalu mengisahkan bahwa sahabatnya, tokoh NU, KH. Wahid Hasyim hampir berpuasa setiap hari sepanjang hayatnya.
“Karena dengan jalan demikian beliau rasai benar betapa besar khasiat puasa beliau itu mengurangi penyakit gula yang menyerang diri beliau. Tetapi beliau tegaskan, bahwasanya bagi beliau yang utama sekali ialah niat beribadat, yang nomor dua barulah kesehatan.”
Menurut Buya Hamka, demikian itulah pendirian orang yang alim atau berilmu. Pasalnya, kalau orang berpuasa dengan niat hanya untuk kesehatan badan, belumlah tentu diterima Tuhan.
“Tetapi berpuasa dengan niat mencapai takwa, itulah yang dikehendaki Tuhan, dan untung juga kalau disamping ibadat diapun membawa kesehatan,” tulis Buya Hamka.
Baca Juga: Kabar Gembira, Presiden Jokowi Pastikan Bantuan Pangan Terus Bergulir Hingga Juni 2024
MENSTABILKAN JIWA
Ibadah puasa menurut Hamka juga mampu membuat jiwa lebih stabil, jika ibadah itu dilaksanakan dengan iman dan kesadaran (imaanan wa ihtisaaban). Mereka yang terlatih berpuasa dengan kemantapan iman, akan terhindar dari puasanya orang awam yang tidak memberi bekas kepada dirinya sendiri.
“Niscaya kitapun bertemu orang yang puasa asal perut lapar saja. Dibendungnya selera satu hari penuh, tetapi ketika berbuka puasa dihantamnya mana yang terletak dengan tidak terkendalikan, sehingga belanjanya sebulan puasa sama dengan belanja setahun,” ungkap Buya Hamka.
Setelah itu, apabila tiba waktu beribadat tarawih atau tadarus, kata Buya Hamka, matanya sudah ngantuk karena terlalu kenyang. Tentu kurang sekali harapan bahwa orang ini akan mendapat faedah takwa dengan puasa semacam itu.
Maka kalau Rasulullah Saw menganjurkan berbuka puasa dengan secangkir air sejuk dan sebutir korma, artinya ialah supaya dalam membukakan puasa itu kitapun terlatih juga mengendalikan diri.
“Sehingga maksud puasa untuk takwa benar-benar dapat dirasakan,” tulis Hamka.
“Itu pula dapat difahami jika ulama-ulama menganjurkan supaya tiap-tiap malam puasa itu dibaharui niat. Niat hendak puasa besok karena Allah. Meskipun misalnya tidak diucapkan, tetapi dirasakan dalam hati,” tulisnya.
Demikian pandangan Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar mengenai perintah puasa Ramadan dalam surat Al Baqarah ayat 183.
Sumber: TentangKita.co