Oleh Hendrika LW
Waktu seperti cemara. Kadang bergerak ke Utara dan Selatan, sesuai arah angin di mana dia bergerak. Kadang juga ke Timur dan Barat.
Aku dan Panji masih asyik menikmati tempat syahdu itu.
Pepohonan rindang. Angin bukit yang dingin, semilir menerpa tubuhku. Aroma cemara yang menyengat. Dan bayang-bayang cahaya rembulan, sesekali menyembul di balik cemara.
Sesekali pula aku memeluk Panji. Dia membelai lembut rambutku. Seakan- akan menghitungnya, helai demi helai. Duh, indahnya.
Belaian yang mengalirkan aroma cemara, bercampur wangi parfum dari tubuhnya.
Ku pejamkan mata. Aku menghirupnya, seakan menerbangkan imajiku ke awang-awang. Hingga tak kusadari, bibir lembutnya menempel di pipiku.
Panji mengajakku ke villa itu. Dia berlari- lari kecil. Olahraga, katanya. Tak terasa langkahnya makin cepat. Jauh mendahuluiku.
“Njii, tungguuuu,” teriakku memekik hingga ke langit.
Namun dIa terus saja berlari. Kukejar. Panji malah mempercepat langkah. Hingga akhirnya aku membiarkan dia pergi, menikmati larinya
“Capek ah, biarin dia lari kesana sendirian, aku nunggu di sini aja,” bisikku lirih.
Dalam menggerutu karena kesal, akhirnya aku nyerah dan duduk di gazebo kayu. Di bawah cemara yang rimbun.
Sepi sekali. Gak ada orang lewat. Cuma terdengar lengkingan bunyi tonggeret dan jangkrik, sebagai isyarat hari berganti malam.
Di atas bukit itu ada villa. Lengkap lampu- lampu hias yang memesona. Andai aku selalu berada di sini.
“Hayooo, lagi mikir apa?” tiba-tiba Panji memelukku dari belakang.
“Ya ampun, Nji, mesti loh suka ngagetin,” kucubit lengannya.
“I Love You, Say,” bisik Panji sambil mengecup keningku.
“I Love You, too,” balasku sambil memeluknya erat.
Beberapa saat suasana jadi hening. Aku merasakan, ada sesuatu yang mengalir dalam hatiku.
Oh, inikah sebuah cinta? Entahlah. Aku menatap Panji. Dia pun menelanjangi wajahku.
“Nji, boleh aku nanya sesuatu. Kenapa kamu suka sama aku, bukankah kita…?”
Belum selesai aku bicara, dia menyergah.
“Kan sudah kubilang, ini anugerah, Say,” kata Panji
Ia terus memegang erat tanganku. Kutatap matanya, kupandangi sorot mata yang teduh itu.
Pendar- pendar rembulan itu menyilaukanku. Kurasakan tubuhnya bergerak selembut pelukan cemara. Tanpa kuminta pergi, logikaku menghilang sendiri. Membiarkanku larut dalam kelembutan tangannya.
“Biarkan semua ini mengalir, kita jalani aja,” kata Panji meyakinkan.
Aku seperti tersadar dari sebuah keraguan. Aku belum yakin atas apa yang baru saja diucapkan Panji.
“I Love You.”
Pengakuan Panji, bahwa ia mencintaiku.
Kata itu seperti bertuan. Sekaligus panah yang menancap hingga menusuk jiwaku.
Kata – kata cinta yang baru saja terlontar bari bibir cowok yang kini berada di sampingku, meluruhkan perasaanku.
Aku begitu teduh dalam dekapannya.
Sungguh menyenangkan. Kutatap wajah Panji yang ceria. Kulihat sebuah ketulusan di hatinya, dia baik dan lembut.
Tanpa kusadari hari mulai gelap. Senja ikut terkulai dihempas sapuan angin sepoi-sepoi.
Burung camar terbang rendah menjadikan alam sekitarku makin gelap. Angin kembali mengusik rambutku, hingga tubuhku menggigil dingin.
“Nji, sudah malam, pulang yuk,” kataku.
Aku melirik jam tangan Panji. Benda bulat bermerk Rolex buatan Swedia itu, menunjuk angka sembilan.
Kabut semakin tebal menyelimuti tubuhku, yang masih lekat dengan aroma melati.
“Hmmm, gak terasa ya, seperti baru sepuluh menit yang lalu kita di sini,” kata Panji.
Ia bangkit dari gazebo. Sambil meluruskan kedua lututnya, Panji mengajakku pulang.
“Makasih ya, Say, untuk kebahagiaan hari ini,” ucapnya lirih.
Semilir angin cemara terus mengibas waktu.
Sebelum beranjak, sekali lagi ia memelukku erat. Aku hanya tersenyum dan menggandengnya untuk segera jalan.
Tak henti kupandangi cemara-cemara itu, yang seolah mengerti perasaanku.
Cemara itu tumbuh berbaris.
Menghiasi kaki bukit, tempat aku dan Panji beradu pandang. Hingga membuat jiwaku larut dalam pelukannya.
Jalanan basah oleh rintik-rintik hujan, yang semakin rapat. Membuat suasana makin
roman. Sebetulnya aku gak ingin cepat sampai rumah.
“Hati-hati Nji, slowly aja, jalanan licin,” kataku meliriknya.
“Iyaa, Sayang.”
Sepanjang perjalanan, Panji terus bercerita. Tangan kirinya, meraih tanganku. Digenggamnya erat. Aku justru sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Hmm, rasanya ingin berlama-lama bersamamu, Nji.”
“Semalaman juga gak apa- apa,” aku mendesah.
Hatiku masih berbunga-bunga. Perasaan yang belum kunikmati sepanjang hidupku.
Sampailah di halaman rumahku.
Panji memarkir Xtrail putihnya di bawah pohon. Pohon jambu madu merah, yang berbuah lebat selama dua musim ini. Biasanya, sepulang sekolah anak-anak tetangga berebut mengambilnya.
“Kinara, makasih ya,” ujarnya.
Panji meraih punggungku. Ia memelukku mesra. Dekapan tangannya yang kian kokoh, nyaris tak mau kulepas. Seakan tak mau berpisah, Panji makin erat memeluk.
“Makasih juga ya, Nji,” jawabku.
Sebelum ia melepaskan pelukannya, kuhadiahi sebuah kecupan di pipinya. Belahan pipi itu terasa dingin. Tanpa kusadari dua butiran bening membedah kedua pipiku.
Oh… Aku berderai air mata. Berdesir kerinduan membuncah. Malam pun menghempaskan lamunan di antara resah rindu untuk Panji.
“Selamat malam, hati-hati di jalan ya,” berat hati rasanya melepaskannya.
Dalam belaian manja bersama sejuta impian, aku pun menitipkan pesan kerinduan.
“Daaa, mimpi indah ya,” kataku sambil menutup pintu mobil.
Aku masih berdiri di halaman rumahku, hingga mobilnya tak kelihatan lagi.
Kak Klara sudah menungguku di depan pintu. Dia belum bisa tidur sebelum aku pulang.
“Malam, adikku sayang, kelihatannya lagi happy nih,” goda kak Klara.
Kak Klara terus menggandengku masuk rumah.
“Ah, kakak,” sahutku tersipu.
“Ya sudah, istirahat dulu ya, besuk baru cerita-cerita,” kak Klara mengantarku sampai kamar.
Aku seneng punya kakak yang sabar dan penuh perhatian. The best deh pokoknya. Aku segera memeluk bantalku dan berharap bisa tenggelam dalam mimpi mimpi.
Tapi bolak balik aku terbangun, ingat Panji. Kubuka Wa-nya gak aktif. Hingga fajar menjelang kubuka lagi WA-nya, masih centang satu. ini pertanda pesan yang kukirim belum dibuka.
Aku mulai resah.
Aku mondar-mandir di dalam kamar dengan perasaan gundah.
“Ya sudahlah, mungkin lagi habis kuota,” pikirku.
Pagi itu, aku segera bersiap ke kantor.
“Kak, ayo berangkat,” teriakku memanggil kak Klara.
Ternyata dia sudah di garasi, bersiap dengan Sigra silvernya.
“Pagi sayang, kok keliatan unhappy sih.”
“Pagi-pagi harus gembira dong,” kata kak Klara dengan lembutnya.
Aku melempar senyum seakan tak ada masalah. Kak Klara pasti tidak tahu ada gejolak dslam batinku, memikirkan Panji. Gara- gara pesan WA-ku belum dibuka.
Sigra silver segera melaju perlahan.
Kebetulan aku dan kak Klara bekerja pada kantor yang sama. Tapi beda divisi. Jadi selalu barengan.
Di kantor aku gak bisa fokus dengan kerjaan. Aku masih penasaran, kenapa gak ada berita dari Panji.
Bener juga kata orang, kalau lagi jatuh cinta sehari serasa setahun.
“Ya Tuhan, Panji kenapa ya?”
“Kenapa hp nya gak aktif?” tanyaku, dalam kegelisahan
Ya sudahlah, kutepis semua pikiran irasionalku.
Kuhela nafas panjang, kucoba fokus dengan kerjaanku. Tapi waktu serasa lama, karena menunggu sesuatu yang membuatku cemas.
“Ayo Ki, pulang,” Mahesti pamit saja membuatku kaget.
“Oiya, Hes, duluan deh, aku bentar lagi,” jawabku seraya menoleh pada Mahesti.
Menjelng sore. Ketika lagi menikmati secangkir teh panas, tiba tiba handphone berdering. Bergegas aku segera menyambar handphone OPPO buatan Cina itu.
Lega rasanya, ternyata dari Panji. Meski cuma menyapa namun perasaan resah sejak pagi lenyap seketika.
“Sore Say, maaf baru balas, aku lagi kurang sehat.”
“Entah kelelahan atau kenapa, aku gak
tahu,” begitu katanya
“Istirahat aja Nji, lebih baik segera ke dokter, biar tahu sebabnya,” balasku cemas.
“Iya makasih ya, Say. Nanti aku ke dokter,” sahut Panji.
“Lekas sembuh ya,* balasku lagi.
Setelah itu WA di offkan. Bahkan untuk beberapa hari pesan WA yang aku kirim tak pernah dibalas.
Aku mulai gelisah. Gerangan apa yang terjadi dengan Panji. Kulihat pesan WA centang dua. Tapi tidak dibaca.
“Panji kenapa ya, berubah sikap secepat itu?”
“Apa yang salah denganku. Rasa-rasanya aku gak bicara apa-apa,” kataku membatin.
Dua minggu keadaan benar-benar sunyi. Aku mulai belajar menata perasaanku. Pagi itu kukirim WA untuknya, dengan harap ada respon karena dia sedang online.
“Pagi Nji, apa kabar?” tulisku singkat.
“Pagi juga, kabar baik,” balasnya singkat pula.
“Sukses ya, Nji,” balasku lagi.
“Iya makasih, sukses juga untukmu.”
Aku masih penasaran dengan sikapnya yang berubah. Hingga aku memberanikan diri untuk bertanya. Apa gerangan yang terjadi dengan cowok itu.
“Nji, boleh aku nanya, ada apa denganmu?” tanyaku ragu-ragu.
“Gak kenapa-kenapa, aku lagi belajar untuk ikhlas,” begitu jawabnya.
Aku makin tak mengerti apa yang dia maksud dengan ikhlas. Apakah itu pertanda dia mau menjauhi aku?
Ah semoga dugaanku salah. Masih penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi.
“Iya bener Nji, kita harus ikhlas,” jawabku.
Padahal aku gak ngerti apa
maksudnya. Aku gak paham, ke arah mana pembicaraannya itu.
“Apa arti semua ini?” tanyaku tanpa jawaban.
“Nji, aku minta maaf ya kalau selama ini ada salah,” kataku memohon.
“Aku yang minta maaf, Ki, aku yang salah,” ujarnya.
Duh, Gusti. Aku makin bingung. Apa yang salah. Menurutku gak ada yang salah. Entahlah, aku jadi bingung. Sejak itu tak
ada komunikasi lagi. Bila aku WA gak pernah direspon lagi, sama sekali.
Kucoba untuk tetap menyenangkan diri. Aku gak mau baper. Aku belajar bersabar memahami. Berdamai dengan perasaan.
Usai makan malam, kak Klara seperti menangkap sinyal kegelisahanku. Seperti frekuensi, situasi batinku memang sedang naik turun. Dan suasana batin ini rupanya dibaca kak Klara.
“Kinara sayang, ada apa, sepertinya ada sesuatu?” tanya kak Klara.
Pertanyaan kak Klara membuat aku kaget. Apalagi, belum pernah aku ceritakan jika Panji hilang bak ditelan bumi. Sengaja aku rahasiakan karena aku tak mau kak Klara ikut kecewa.
Meski ku tutup rapat-rapat, kak Klara merasakan sesuatu pada diriku. Maklum saudara kandung satu denyutan rasa.
Aku terpaksa membohongi kak Klara.
“Gak ada apa-apa, Kak. Cuma masalah kecil,” jawabku
Jauh di lubuk hati, aku menahan tangis. Panji, oh Panji. Hatiku masih gemuruh.
“Panji ya?” tebakan kak Klara bener.
Lagi lagi aku terpaksa jujur pada kak Klara jika hubunganku dengan Panji belakangan renggang. Aku juga tak tahu penyebabnya.
“Iya. Aku sudah gak berteman sama Panji. Aku gak tahu, kenapa dia berubah”.
“Gak ngasih alasan apa-apa. Aku kirim pesan juga gak direspon,” jawabku berkaca-kaca.
Kakakku manggut-manggut sambil menatap ke arahku. Sebelum kak Klara menimpali, aku sudah sambung lagi.
Saat itu kata-kata keluar dari bibirku seperti air mengalir, tiada henti.
“Harusnya dia kan bilang. Alasannya apa. Sportif gitu.”
“Aku juga bisa ngerti kok. Kan gak mungkin aku maksain.”
Kak Klara memelukku.
“Sabar ya, Sayang. Pinginnya seperti itu.”
“Tapi kita gak bisa maksain orang lain seperti yang kita mau.”
“Mungkin dia gak punya keberanian untuk menjelaskan alasannya,” kak Klara menenangkanku
Kak Klara memang jago dengan petuah. Ia pandai berfilsafat seperi Socrates. Sambil memandang ke arahku, ia berkata lagi.
“Masih ingat gak, mati satu tumbuh seribu.”
“Itu nasehat siapa, hayoo. Kamu yang kasih nasehat kakak waktu itu kan?”
Gerimis tipis melewati kedua pipiku, menyapu seperti salju. Dingin nol derajat. Aku jadi ingat nasihat itu, ketika kak Klara putus sama kak Nugra.
Peribahasa itu diajarkan Bu Ninik, guru SMA ku dulu. Meski sudah kumal dimakan waktu, kata-kata itu terasa masih baru dalam pikiranku.
“Mati satu tumbuh seribu. Hilang satu cari yang baru,” Mahesti nyeletuk, ketika aku tiba di kantor
Aku tersenyum saja dengan sambutannya, yang menghiburku.
Di sebuah Mall, aku bertemu Panji bersama seorang perempuan bercadar hitam. Ya, Panji Asmoro bersama istrinya. Aku tersenyum. Dia mengantarku sampai di pintu keluar dengan pandangannya.
Senja itu masih kuingat. Saat hatiku terbuai oleh desiran angin manja. Kecupan dan pelukan hangat, sesaat membeku seperti salju. Terkulai. Membisu dalam selimut rindu di antara daun cemara.
*** The End ***
Penulis : Aktif di bidang sosial, wartawan penulis sastra.