“Setiap kali aku melangkah jauh dari masa lalu menuju masa depan, di sepanjang tapak-tapak yang aku lalui selalu kutaburi benih bunga. Supaya kelak ketika aku kembali mengenangnya, yang aku temukan, hanyalah sukacita sebab masa laluku telah dihiasi oleh benih bunga yang mekar yang pernah kutabur. Inilah caraku mencintai karena aku lahir dari cinta dan Tuhan yang menciptakanku adalah cinta, Deus Caritas Est”.
Setelah membaca sepucuk surat edaran Gubernur terkait pencegahan COVID 19, Adrian menuju kamarnya seraya mengerutu mengutuk akan kecerbohan dunia dalam penyebaran COVID 19 ini. Seisi kampung yang masih dikuasai keremangan pun sontak ketakutan karena adanya wabah COVID 19 yang telah mengakibatkan penutupan perayaan Hari Minggu.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, saudara-saudari sekalian, mulai hari minggu ini, kita semua tetap di rumah saja, tidak ada misa sebab Presiden telah memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mengingat COVID 19 sudah masuk ke negara kita” demikian pesan kepala desa Tapaun kepada warganya yang sebagian besar adalah petani ladang.
“ Tidak bisa begitu, hari minggu tetap hari minggu jangan takut pada virus. Kamu lebih takut virus daripada takut Tuhan?” ungkap Bapa Tobias, tokoh adat terkemuka desa Tapaun.
“Bapak, ini bukan kita takut virus korona atau tidak takut Tuhan tetapi kita harus taat kepada pemerintah karena kita ini warga negara”, sambung Adrian mendukung kepala desa dan pemerintahan.
Maklum Adrian adalah satu-satunya pemuda yang sedang mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Timor Tabongkar, yang mengerti situasi terkini tentang dunia yang dijarah COVID 19. Seminggu yang lalu, Rektor Universitas mengeluarkan surat bagi mahasiswanya untuk kuliah dari rumah dan Adrian harus kembali ke kampung halamannya mengingat ia tidak memiliki siapa-siapa di Kupang. Saat berada di Bus Gemilang, ia menjumpai begitu banyak orang yang sedang berbincang-bincang tentang virus korona. Kondektur pun tidak kalah berdebat dengan sopir terkait asal muasal virus corona.
“saya Yakin itu pasti Cina punk otak, dia sengaja mau menguasai dunia. dasar mata sipit, kikir”, timpal Odan salah satu kondektur Gemilang saat semua penumpang istirahat untuk makan di Niki-Niki.
“Bro hati-hati, jangan sebut Cina begitu, sonde (I) takut bos ko? Hhh?” sambung Petu salah satu teman kondektur Odan dari Bus Gemilang sembari tertawa. Odan sempat diancam untuk dipecat karena mengganggu karyawati Baba, saudara pemilik Bus Gemilang. Adrian sungguh menikmati pertengkaran hebat tentang virus korona versi anak jalanan.
Semilir bayu senja semakin menusuk hingga relung-relung hati. Perjalanan diteruskan dan Adrian pun berpisah dengan teman-temannya di terminal Kota Kefamenanu. Hari hampir gelap, Adrian kesulitan menemukan kendaraan menuju kampung halamannya mengingat, infrastruktur menuju kampungnya belum memadai, listrik pun belum dipasang sebagaimana desa-desan lain di sekitarnya. Adrian istirahat sejenak di emperan toko dekat pasar lama. Karena kelelahan, ia mencoba merebahkan diri di samping toko.
“Bro, kapan datang?” teriak Armindo teman kelas sewaktu SMP. “Bro, apa kabar? Saya baru tiba, hanya tidak ada kendaraan ke kampung jam begini” jawab Adrian datar.
“Bro, biar malam ini kita di rumah saja, su lama sonde ketemu ni, saya ingat bro hehehe” sambung Armindo tertawa.
“Ah yang benar saja, jangan sampai masih sama seperti yang dulu waktu di SMP hhh” lanjut Adrian tertawa terbahak-bahak. Adrian dan Armindo adalah dua teman sejati, kala mereka masih di SMP, mereka berdua memiliki fisik pendek sehingga keduanya biasa dipanggil Jono A dan B. Jono adalah nama peran Ucok Baba dalam sinetron Si Kembar.
Adrian dan Armindo pernah dihukum oleh kepala sekolah karna ketahuan memanjat pagar untuk memetik buah apel tetangga yang condong ke dalam kompleks sekolah, padahal saat itu mereka banyak tetapi karena mereka berdua sementara di atas pagar sementara teman-temanya telah melarikan diri dan menghilang maka keduanya dihukum menggali lubang untuk menanam pohon mangga. Keremangan pun meliputi Kota Kefa, hiruk pikuk pasar terlihat seperti biasa. Armindo pun mengajaknya ke rumah di gang Mawar.
“Waoww, bagus sekali rumah ini, dikontrak atau rumah orang tuanmu? Tanya Adrian terheran-heran sebab ia tidak menyangka malam ini ia tidur di Istana tidak seperti di Kupang hanya tinggal di Kos yang sempit.
“hehe, biasa sa bro, rumah sederhana seperti orang-orang lain” jawab Arman merendah.
Perjumpaan perdana Armindo dan Adrian setelah 10 tahun, dihabiskan dengan membahas rumah dan karir semalam suntuk. Sejak tamat SMP, Adrian sudah meninggalkan kampung dan mengenyam pendidikan di Atambua.
Sementara Armindo melanjutkan pendidikan di Kota Kefa. Perjumpaan pertama penuh haru sejak tamat SMP 2010 lalu keduanya tidak saling jumpa. Malam itu adalah kesempatannya. Rumah Armindo cukup elit dengan dua lantai dan kamar yang luas. Setelah selesai SMA, Armindo melanjutkan bisnis orangtuanya yakni berdagang cenda.
Sedangkan Adrian harus melanjutkan pendidikannya di jenjang Perguruan Tinggi. Dan malam itu, ditemani secangkir kopi hitam Tunbaba dan sebungkus rokok LA Bold, keduanya bernostalgia tentang nama cewek yang pernah mereka naksir waktu SMP. Sebab hanya mereka berdua yang “tidak laku”. Wajar, karena sering mandi 11 jari alias cuci muka saja. Mana ada cewek yang mau hhhh. Jam dinding menunjukan pukul 02:00, suara TV masih terdengar di kamar tengah, sedangkan keduanya hanyut dalam nostalgia di ruang tamu yang cukup luas sembari bermain poker sebab keduanya jago di bidang itu sejak SMP.
Si jago merah memekikkan suaranya sembari melantunkan antifon pembukaan fajar “Kukuruyuk, kukuruyuk”. Simfoni syahdu alam terdengar indah pagi itu. Adrian terjaga ia melihat Armindo tertidur dengan pulas di Sofa kiri.
“Ini tidur gaya borjuis, mentang-mentang su sukses son peduli dengan jam bangun,” gumam Adrian dalam hati.
Fajar pertama di Kota Kefa terlihat indah, kabut pagi menyelimuti punggung bukit yang dihiasi dengan aneka anakan pohon cendana dan beberapa rumpun bambu serta sirih dan pinang. Adrian pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Kampung Tapaun sekitar 50 KM dari Kota Kefa.
“Saya antar ke rumah” tawar Armindo, “Bro, terima kasih banyak, tidak usah repot-repot, lagian teman masih harus urus semua kerjaan di rumah” sambung Adrian sambil menolak.
“Bro ingat, kita tidak selalu berjumpa” lanjut Armindo, maka luluhlah hati Adrian dan keduanya bergegas ke kampung halaman Adrian di Tapaun.
Seminggu kemudian sejak berlakunya gerakan tinggal di rumah, orang-orang kampung Tapaun beraktivitas seperti biasa. Desa Tapaun merupakan desa yang paling aman menjanjikan pesona alam tiada duanya. Siapapun yang pernah ke sini, hatinya akan terpikat dengan keramahan warganya walau sudah meninggalkan tempat ini.
Adrian bersama-sama anak-anak desa menuju sawah, membuat pematang, sesekali menangkap katak untuk dimakan. Pada hari minggu kedua setelah gerakan tinggal di rumah, Adrian bersama ayahnya menuju kampung tetangga Napan, tempat yang cukup bagus bak Kota. Memang Napan adalah ibu kota walaupun hanya tingkat kecamatan. Adrian menikmati kemajuan kota kecamatan yang cukup berarti. Ia menyaksikan banyak mahasiswa-mahasiswi dari Kupang dan Jawa harus mengalami karantina selama 14 hari.
Adrian pun mengambil HP Androidnya, dan mencari aliran listrik, maklum sejak dari Kupang Hpnya sudah tidak ada daya. Setelah daya penuh, ia mengisi pulsa data dan bersama ayahnya membeli bahan logistik untuk kebutuhan selama masa lockdown COVID 19. Hari semakin senja, jingga menghiasi ufuk barat yang sedang ditaburi burung-burung camar dan walet Adrian dan ayahnya harus kembali ke Tapaun. Di sepanjang jalan, sesekali Adrian mengajark ayahnya selfie. Mulut ayah yang penuh sirih pinang terlihat seperti menggunakan lip stik setelah pemotretan.
“Anak saya punk bibir ni ke Binon Amasat (II) punk bibir?” ungkap ayahnya setelah melihat hasil potretan mereka.
“hhhh, Bapak ternyata suka menghayal juga. “ Kata Adrian terbahak-bahak.
Dari kejauhan tertinggal satu bukit lagi, supaya bisa mencapai kampung Tapaun yang terpencil. Saat sedang asyik-asyikan selfie, ada pemberitahuan di HP Adrian. “Bapa Tunggu dulu ada notifikasi ni” kata Adrian sembari menunjuk HP. Kebetulan jaringan Telkomsel dari Napan masih bisa menjangkau satu bukit lagi sebelum mencapai Tapaun.
“Hae anak sekau es notniskit?” (III) sambung bapa menanggapi kata Notifikasi.
“ hhhhh, Bapak bukan notniskit, tapi notifikasi itu artinya ada informasi masuk hp” jelas Adrian. Maklum karena satu-satunya HP yang ada di di kampung Tapauan hanya dimiliki oleh Adrian.
Saat membuka notifikasinya, ia menemukan chat masuk ke WA dari Chelsea yang berbunyi;
“ Kaka, saya minta maaf, mungkin selama ini kaka kecewa sikap saya malam di acara NUSRA Youth Day. Kaka tidak marah saya to ? saya tahu kaka orangnya pemaaf dan selama ini saya yakin kakak selalu mendoakan saya.”
Setelah membaca chat itu, Adrian menghela nafas panjang antara diabaikan atau dibalas chat ini mengingat, perjalanan masih satu bukit lagi dan hari hampir malam. Chelsea adalah gadis manis asal Sabu Raijua, bersahaja dan pintar. Ia aktif menulis di website, di FB, WA dan juga beberapa media dan bahkan sering mengikuti perkumpulan para pencinta sastra.
Kisah persahabatan Adrian dan Chelsea dimulai saat komunitas Sastra Lopo Literasi dibuka oleh senior-senior Chelsea. Informasi tentang komunitas ini diketahui Adrian saat melihat satu postingan di Fbnya. Kisah mereka mencapai klimaks di malam penutupan akbar NUSRA Youth Day di Paroki St Gregorius Kota Baru, Chelsea diundang untuk bersama Adrian membawakan puisi di hadapan ratusan OMK se-NUSRA, mewakili komunitas Sastra Lopo Literasi. Malam itu menjadi malam kenangan manis sekaligus pahit bagi kedua sahabat ini.
Di pojok kanan aula yang remang dan sepi, Adrian mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan rasa padanya sebab sudah lama ia memendam rasa sejak mereka bergabung di kelompok sastra dan setiap kali pertemuan untuk membedah buku-buku sastra keduanya terlihat akrab seperti pasangan yang sedang berbulan madu. Rupanya rasa yang dipendam Adrian memuncak malam itu. Dan ia menarik tangan kanannya dan menatap matanya, di tengah keramaian malam itu, ketika banyak orang sibuk berpose, mengunjungi setiap pajangan dari setiap paroki, beberapa OMK terlihat tertawa ria, menyanyi dan dentuman petasan menggelegar di area paroki, menghiasi malam itu dan keduanya baru saja berciuman.
“Kakak, jujur ini ciuman tanda persahabatan, tidak lebih, saya sudah menganggap kakak sebagai saudara”
Kata-kata Chelsea ini seoalah merabik hati Adrian, rupanya ciuman malam itu adalah ciuman tanpa rasa seperti ciuman Yudas kepada Yesus. Sejak malam itu juga, keduanya tidak saling memberi kabar selama dua tahun. Entah siapa yang tidak mau membuka komunikasi terlebih dahulu. Ketika pulang, Chelsea merasa bersalah sebab telah melukai hati Adrian. Selama kurang lebih dua tahun ia tetap merasa bersalah karena Adrian tidak memberi kabar.
Keputusan Chelsea bukan tanpa alasan. Ia tidak ingin agar komunitas sastra Lopo Literasi rusak akibat adanya cemburu di antara mereka. Sejak saat ini keduanya terlihat tidak seakrab dulu. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Sampai pada saat keputusan rektor masing-masing universitas untuk kuliah online. Chelsea kuliah di Universitas Nusa Lontar dan Adrian di Universitas Timor Tabongkar. Chelsea masih merasa bersalah ia pun mencoba mengontaknya namun tidak ada jawaban. Ternyata malam itu setelah acara, HP Adrian terjatuh entah siapa yang menemukannya.
Senja itu, Adrian untuk pertama kali mendapat kabar dari Chelsea setelah kejadian NUSRA Youth Day dua tahun lalu. Adrian berpikir Chelsea benar-benar hilang kontak sama sekali ternyata tidaklah demikian. Ayah Adrian menunggu dengan tidak sabar untuk segera melanjutkan perjalanan, lantas Adrian membalas chat Chelsea demikian:
“Setiap kali aku melangkah jauh dari masa lalu, menuju masa depan, di sepanjang tapak-tapak yang aku lalui selalu kutaburi benih bunga. Supaya kelak, ketika aku kembali mengenangnya, yang aku temukan hanyalah sukacita sebab masa laluku telah dihiasi oleh benih bunga yang mekar yang pernah kutabur. Inilah caraku mencintai karena aku lahir dari cinta dan Tuhan yang menciptakanku adalah cinta, Deus Caritas Est”.
Setelah tulisan tersebut terkirim, semilir bayu senja mengawal langkah mereka mengikuti arah sang raja siang yang hendak ke peraduannya. Adrian pun mengajak ayahnya untuk uji kecepatan berlari. Senyum rembulan menyetujui bahwa di ujung kisah Chelsea dan Adrian ditakdirkan untuk bersahabat. Setelah peristiwa COVID 19 berlalu, semua mahasiswa kembali ke Kupang, kelompok sastra menjadi hidup kembali. Terlihat Adrian dan Chelsea kembali akur dengan rasa yang berbeda namun dalam sukacita yang sama.
“Kamu dan aku dipanggil untuk memberi nama pada rasa. Jangan malu untuk kembali seperti dulu”. Bisik Adrian ke telinga Chelsea. Lalu dari mulut Chelsea terucap;
“Saya mau kembali seperti dulu, bukan hanya sebagai sahabat tetapi juga ayah untuk anak-anak kita kelak”.
Setelah mendengar ucapan bibir seksi itu, jantung Adrian seolah terhenti berdegup. Ia satu-satunya anggota yang beragama Katolik dalam kelompok Sastra Lopo Literasi tersebut sementara teman-teman lainnya adalah Muslim dan Protestan. Chelasea sendiri adalah puteri seorang pendeta di salah satu gereja ternama di Kupang.
“Aku tidak mungkin mengkhianati tiga kaul yang telah aku ikararkan pertama kali empat tahun untuk hidup miskin, taat dan murni (tidak menikah)” kata Adrian dalam hati(*)
Matani, Penfui 26 April 2020
Penulis: Sedang menyelesaikan studi filsafatnya di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang semester VIII. Suka membaca buku-buku Filsafat, Teologi dan Sastra.
Catatan:
(I) Sonde: Tidak (Melayu Kupang)
(II) Binon Amasat: Gadis Cantik (Bahasa Dawan)
(III) Sekau Es Notniskit: Siapa yang membakar mati kita? (Bahasa Dawan)